PWMU.CO-Salah satu fungsi utama cerita anak adalah unsur edukasi. Selain sebagai media hiburan, cerita anak memiliki tugas sebagai sarana pendidikan. Melalui unsur instrinsiknya, baik itu tema, amanat, serta karakter tokoh dan isi, cerita anak memiliki sinergi dalam gerakan literasi dalam memperkuat pendidikan karakter.
Tetapi, orang tua adalah portal utama dalam mengarahkan dan memberikan bimbingan kepada putra-putrinya dalam memilih dan memilah sumber bacaan cerita anak yang layak, pas, dan sesuai dengan usianya. Meskipun dalam cerita anak, unsur gambar dan tulisan normal sesuai dengan kategori cerita anak, tetapi orang tua harus memiliki kejelian dalam mencermati semua isi, baik itu gambar, citraan kata, dan kalimat yang dibuat, sampai dengan tema cerita yang dibahas.
Adakalanya cerita anak, meskipun tokoh-tokohnya anak kecil, tetapi isi yang dibahas menunjukan perbedaan. Materi yang bahas memiliki ketidaksinkronan dengan usia anak itu sendiri. Isi kurang sesuai dengan pola pikir anak, atau bahasan isi lebih dewasa yang tidak sesuai dengan dunia anak. Dalam cerita anak ada pergeseran teks dari segi bentuk dan unsur-unsur pembentuknya.
“Cerita anak adalah modal paling mudah dalam menyisipkan nilai moral pada anak,” papar Ustadzah Ika Famila Sari, SPsi, Koordinator Tim BK Sinergi Majelis Dikdasmen PCM GKB Gresik, ketika ditemui di ruang kerjanya, Senin (23/4/18). “Khusunya dunia binatang, anak sangat suka sehingga cerita itu sangat mudah dalam mentransfer nilai-nilai edukasi pada diri anak,” tambahnya.
Ika menjelaskan bahwa ketika cerita anak yang memiliki penyimpangan dari segi isi, anak langsung akan membaca tanpa mengetahui dengan detail sehingga dia akan melakukan peniruan seperti yang ada dalam cerita yang dibaca. Semakin kecil usia anak, kemampuan berpikir analisisnya belum sempurna. Logika anak belum terbentuk dengan sempurna sehingga mereka akan banyak melakukan peniruan tanpa ada proses pikir panjang.
Hal senada juga disampaikan Ustadzah Uswatun Dwi Utami, SPsi, guru Bimbingan Konseling SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik. Cerita anak diibatkan sebagai media edukasi untuk anak. Pesan-pesan moralnya bisa membantu dalam perkembangan pola pikir anak dalam memahami dan mencermati sosialnya.
Utami menguraikan bahwa cerita anak adalah jembatan bagi anak untuk membantu dalam perkembangan berpikir dan bertingkah laku anak. Isi dan pesan yang dikandung dalam isi cerita diharapkan mampu memberikan nilai positif dan membantu dalam perkembangan kejiwaan anak ketika dia bersosial.
Sajian cerita anak, baik secara isi, bahasa, dan gambar haruslah memiliki misi menggerakan imajinasi, kreativitas, dan pola pikir positif. Nilai edukasi inilah yang menjadi mata pisau cerita anak dalam mendukung literasi dalam membangun pendidikan karakter anak.
Hal yang sangat bertolak belakang ketika kita mencermati cerita anak berjudul Saat Aku Takut dan Bingung (SATdB), Aku Berani Bilang “Tidak” (ABBT), dan Aku Belajar Mengendalikan Diri (ABMD) karya Fita Chakra. Ketika cerita anak yang diterbitkan Tiga Ananda, Creative Imprint of Tiga Serangkai-Solo ini banyak menuai kritik semenjak buku ini terbit tahun 2016.
Seperti yang diberitakan salah satu media media online tahun 2017, nada protes sejumlah kalangan dan sempat menjadi viral di media sosial bahwa cerita anak tersebut dianggap mengajak anak untuk masturbasi. Hal senada juga disampaikan Asrorun Niam, Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dalam keterangan pers, Senin (20/2/2017), yang dimuat di salah satu media online nasional, KPAI menilai tindakan Penerbit Tiga Serangkai menarik buku anak berkonten masturbasi dari pasar tidaklah cukup untuk menebus kesalahan mereka.
Dalam DetikNews (21/2/17), Muhammad Taufiqqurahman mengabarkan Puan Maharani, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, mengisyaratkan harus ada langkah investigasi terhadap buku cerita tersebut. Ucapan Puan langsung direspon positif oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Dalam berita yang dihimpun Kompas.com (27/2/17), beliau memastikan penerbit buku berjudul Aku Belajar Mengendalikan Diri akan dikenakan sanksi. Terbitan itu menyalahi prosedur.
Memang, ketiga buku ini sempat diperjualbelikan di toko buku. Masyarakat pun bisa mengakses via internet secara bebas. Ketika menuai banyak kritik, awak 2017, penerbit melakukan penarikan sehingga di beberapa toko buku tidak ditemukan kembali buku ini dipajang di rak buku.
Secara sepintas, cover ketiga cerita tidak jauh berbeda dengan cerita anak pada umumnya. Dicetak full color dan ada gambar anak kecil di dalamnya. Ketiga cerita anak ini adalah cerita dengan jenis sastra anak yang menghadirkan sajian, bagaimana cara anak bisa melindungi diri dari ancaman kejahatan seksual dan bagaimana anak dapat mengendalikan diri terkait dengan sikap dan perilaku seksualitas.
Dalam cerita tersebut, penulis cerita ingin mengajarkan anak untuk bisa melindungi diri dari ancaman kejahatan seksual dan mengajarkan anak untuk bisa melindungi diri dari ancaman penyakit seksual. Di balik pesan dalam pembelajaran tersebut, permasalahan dalam teks verbal dan gambar pendukung cerita menjadi problematik, yaitu tentang pergeseran teks dalam cerita anak.
Teks verbal dan gambar yang terdapat dalam ketika cerita anak tersebut memperlihatkan pergeseran teks dari konvensi cerita anak. Gaya tutur, diksi, kalimat, pencitraan, dan gambar sebagai pendukung masuk dalam tataran logika pembaca orang dewasa dari pada untuk anak. Narasi kekerasan seksual dan perilaku seksualitas disampaikan lebih vulgar, terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling.
Hal ini bisa dilihat dalam cerita SATdB. Secara struktur isi, cerita ini menghadirkan diksi, citraan, dan juga gambar sebagai pendukung cerita yang melukiskan tentang kekerasan (kejahatan) seksual pada anak. Kronologis cerita dari korban yang dilakukan pelaku dideskripsikan jelas dan detail dalam isi cerita. Maka, muncullah kata-kata: ‘meraba-raba’, ‘mengajakku main dokter-dokteran’, dan ‘membuka celana’. Selain itu juga, gambar seorang pelaku (orang dewasa) yang memegang dada korban (anak) dihadirkan dalam teks cerita.
Citraan sebagai penggambaran angan dalam cerita ini memiliki fungsi sebagai implikasi dari tindakan yang dialami tokoh. Penulis mengungkapkan perasaan dalam mendeskripsikan, bagaimana tokoh cerita sangat tertekan, takut, dan cemas, akibat prilaku kekerasan seksualitas. Seperti dalam dialog dalam teks berikut ini:
[…]
“Dadaku berdegup kencang.” (SATdB, hlm: 32)
[…]
“Lama-kelamaan, dia meraba-rabaku.” (SATdB, hlm: 32) (Ichwan Arif)
Discussion about this post