PWMU.CO – Di Indonesia, peringatan May Day atau hari buruh internasional setiap tanggal 1 Mei, tidak bisa lepas dari sosok heroik yang bernama Marsinah. Ia dikenal sebagai syahidah (martir) perjuangan buruh buruh agar nasibnya lebih baik. Sosoknya yang tegas, berani, dan berdedikasi menjadikannya sebagai ikon perjuangan buruh. Terlebih ia harus meninggal terbunuh karena perjuangannya itu.
Selain sebagai aktivis buruh, tak banyak yang tahu bahwa Marsinah pernah ditempa di SMA Muhammadiyah 1 (SMAMSA) Nganjuk. Ia terdaftar sebagai siswa SMAMSA dengan nomor induk 3643. “Marsinah memang siswa SMAMSA yang sejak sekolah memang nekat, rajin dan bersemangat dalam menuntut ilmu,” papar wakil kepala sekolah SMAMSA Andik Joko.
Selama menjadi murid SMAMSA, Marsinah dikenal sebagai siswa yang cerdas. Semangat belajarnya juga sangat tinggi, dan selalu mengukir prestasi dengan peringkat juara kelas. Lulus pada tahun 1989, impian hidup masa depan pun sebenarnya dirancang oleh Marsinah. “Jalan hidupnya menjadi lain, ketika ia terpaksa harus menerima kenyataan tidak bisa melanjutkan pendidikan lebih tinggi,” tambah Andik Joko.
Dengan prestasinya selama bersekolah, Marsinah pernah bercerita keada para gurunya bahwa dia punya cita-cita ingin melanjutkan kuliah. Impiannya adalah kuliah di Institut Kependidikan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). “Dia ingin sekolah di IKIP. Tapi, uang siapa untuk membiayai di perguruan tinggi itu,” tambah pria yang juga aktivis Hizbul Wathan.
Selain rajin sekolah, lanjut Andik Joko, Marsinah juga rajin membantu orang tuanya di sawah dan menonton TV untuk mengetahui berbagai informasi. “Sekolah telah mengantarkan marsinah menjadi pribadi yang kuat. Memiliki semangat tinggi, dan tak kenal menyerah,” tambah aktivis Pemuda Muhammadiyah ini.
Atas dasar kegigihan perjuangan Marsinah, SMAMSA bersama Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk memberikan penghargaan sebagai Pahlawan dan Pejuang kaum Buruh. “Marsinah adalah lulusan sekolah Muhammadiyah, lepas dari plus dan minusnya sejarah hidup yang bersangkutan.”
Ketika yang bersangkutan wafat karena perjuangannya, sebenarnya Tanwir Muhammadiyah 1993 di Surabaya pernah mengusulkannya sebagai pejuang buruh. Namun, dengan berbagai pertimbangan politik yang ada, aspirasi yang muncul dalam Tanwir yang melahirkan putusan pentingnya “pergantian kepemimpinan nasional” itu tidak jadi terwujud.
“PDM Kabupaten Nganjuk bersama kami dari almamater yang bersangkutan memberikan penghargaan tersebut,” terang Kepala SMAMSA Muhammad Lukman Harun. Piagam ini selain ditandatangani oleh Kepala SMAMSA, juga ditandatangani oleh Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Nganjuk, Drs Mursyid Arifin. Dikeluarkan pada 24 Mei 2015, penghargaan diberikan kepadanya sebagai Pejuang dan Pahlawan Kaum Buruh.
Meskipun penghargaan itu dinilai banyak kalangan terlambat, tapi kata Lukman harun, hal itu lebih baik dari pada tidak sama sekali. Paling tidak piagam penghargaan tersebut dapat menetralisir anggapan yang menyatakan Marsinah hanya bagian dari penggiat buruh. “Padahal beliau keluarga Muhammadiyah.”
Abadi perjuanganmu, Mbak Marsinah! (R6)