PWMU.CO – Banyak istilah yang cukup popular dalam kehidupan umat Islam yang seakan-akan benar. Meski secara logika sederhana sangat kelihatan tidak benar, tapi banyak yang percaya. Di antaranya adalah seperti “Saya bukan Muhammadiyah juga bukan NU, tapi saya Islam”.
Kalimat itu menjadi bahan diskusi saat Nadjib Hamid MSi mengawali materinya dalam Baitul Arqam Amal Usaha Pimpinan Cabang Aisyiyah Klojen Kota Malang, (30/4). Kontan saja, istilah itu menjadi pemanasan bagi peserta dalam acara yang diselenggarakan di Desa Sahabat Alam, Karangploso, Malang itu.
Kemudian Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim ini meminta salah satu peserta membaca kalimat tersebut. “Betul atau tidak kalimat itu?” Tanya Nadjib kepada peserta. Sebagian peserta mengangguk dan membenarkan, sebagian lain ragu-ragu menjawab, dan sebagian lainnya lagi tidak membenarkan.
Melihat seperti itu Nadjib menjelaskan bahwa kalimat itu sering diucapkan para aktivis yang menganut ideologi tertentu. Lantas, tambah calon anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), dengan bangganya menyatakan bahwa mereka telah ber-Islam yang terbaik.
“Kalimat itu seolah menunjukkan bahwa mereka itu luar biasa dalam beragama. Padahal tidak demikian,” tegas Nadjib. “Kalau orang yang tidak faham pasti akan gumun. Tapi sejatinya itu salah, yang mengucapkannya juga tidak benar.”
Menurut pria asli Lamongan itu, kalimat itu tidak sepadan. Sehingga tidak bisa dibuat perbandingan. “Muhammadiyah itu organisasi. NU juga organisasi. Sementara Islam itu agama. Karenanya, kalau ada yang bilang “Saya bukan Muhammadiyah juga bukan NU, tapi saya Islam”, maka tidak benar,” tegasnya.
Lantas bagaimana kalimat yang benar karena ada sepadan sehingga bisa jadi perbandingan. “Kalau ada orang yang bilang: saya bukan Kristen, bukan Hindu, tapi Islam, itu baru betul perbandingannya. Sebab, Islam, Kristen dan Hindu itu ketiganya adalah agama,” jelas Nadjib yang sedang mengajari Ilmu Manthiq itu.
Karena itu, karena 90 persen peserta Darul Arqam adalah guru, Nadjib berpesan agar dalam mengajar tidak mudah mengatakan haram, tidak boleh atau semacamnya. Dia mencontohkan banyak orang mengharamkan ulang tahun, tapi pada sisi lain justru mewajibkan milad. “Seperti ini kan lucu. Padahal status hukum sebuah perkara itu tidak bisa berubah hanya karena bahasa,” jelas Nadjib.
Dia mengatakan untuk menghukum sesuatu itu harus dilihat dulu persoalannya terkait dengan ibadah mahdlah atau tidak. Jika terkait ibadah mahdlah, maka yang berlaku adalah “selama tidak ada perintah, tidak boleh dikerjakan” yang dalam bahasa kerennya adalah al-Ashlu fil ibadah haraamun illaa maa dalla ad-dalilu ‘alaa fi’lihi.
“Sebaliknya kalau terkait ghairu mahdlah, yang berlaku adalah selama tidak ada larangan, tidak apa-apa bila dikerjakan,” tegas Nadjib. Inilah yang dalam kaidah Ushul Fiqih dikenal dengan bunyi al-Ashlu fil asy-yaa-i al-ibaahah illaa maa dalla aa-daliilu ‘alaa tahriimihi.
Jelas, bukan? (uzlifah)