PWMU.CO – Wartawan, dulu biasa disebut kuli tinta, memang pintar bikin judul headline. “17 Guru Besar Turun Gunung.” Aku memang telah diberi oleh Pemimpin Redaksi Radar Malang ihwal acara untuk mengenang Hari Pendidikan Nasional yang ditepatkan dengan waktu kelahiran Ki Hajar Dewantara, 2 Mei. Aku diminta mengajar anak-anak di Madrasah Ibtidaiyah Khadijah yang terletak di pusat kota Malang. Mungkin karena lazimnya profesor mengajar mahasiswa, manusia yang tergolong pemuda kalau mengikuti pengelompokan usia dari organisasi kesehatan dunia atau WHO (usiaku ternyata tergolong pemuda karena WHO mematok usia 18-65 tahun dalam kategori pemuda). Sementara pada 2 Mei, aku diminta mengajar anak-anak kelas 4 yang seusia dengan anakku yang ketiga, Razes Rafael Gibran. Inilah biangnya, profesor mengajar anak-anak yang kemudian menjadi judul berita lumayan menghebohkan bagi pembaca Radar Malang.
Turun gunung biasanya digunanakan dalam dunia persilatan. Padepokan tempat berlatih para calon pendekar biasanya terletak di pegunungan. Aku teringat film Pendekar Tongkat Emas yang dibintangi Christine Hakim, Reza Rahadian,Nicholas Saputera dan Slamet Rahardjo, yang rilis pada Desember 2014 dan kutonton dengan penuh antusias bersama keluarga. Cempaka , si Pendekar Tongkat Emas, yang dperankan Christine Hakim, memilih padepokan di pegunungan untuk mengasah murid-muridnya. Kalau ada pendekar dikatakan turun gunung, memang seharusnya begitulah ungkapannya.
Turun gunung terkadang juga digunakan kalau ada tokoh dalam posisi puncak yang bahkan harus terlibat secara langsung dalam menyelesaikan kasus pelik yang gagal, atau setidaknya lamban ditangani oleh bagian managemen di bawahnya. Atau bisa digunakan seperti pada berita yang saya baca pada media daring. Diberitakan salah seorang anak buah gembong teroris di Indonesia bagian timur desersi dari kelompoknya lalu turun gunung sambil “nenteng” senjata.
Sepertinya, aku yang diminta berpartisipasi dalam acara yang digagas koran yang dimiliki Dahlan Iskan itu, ragu terhadap ketepatan penggunaan ungkapan turun gunung. Memang tidak salah, kalau profesor dianggap sebagai puncak karir seorang akademisi. Aku teringat Prof. Muhadjir Effendy, rektor Universitas Muhammadiyah Malang ke-5. Katanya, sebagaimana di militer, setiap perwira ingin menapaki karir sebagai jenderal dengan tanda empat bintang di pundaknya. Pada akhirnya memang tidak semua perwira merengkuhnya, sebagaima halnya akademisi yang mandeg pada tahapan Lektor Kepala, kendati kualifikasi akademiknya sangat memungkinkan menjadi seorang profesor. Doktor adalah kualifikasi akademik yang dimaksud. Tetapi tidak sedikit akademisi berhenti pada tahapan itu, kendati tinggal beberapa langkah lagi gelar profesor bisa diraih. Ada banyak alasan yang membuat mandeg di situ. Aku pernah tersandera oleh perasaan ketidakpantasan menyandang predikat sebagai profesor. Profesor, menurut pembacaan batinku kala itu, adalah marwah, bukan sekedar akademik, tapi “personality”. Portofolio akademikku cukup melimpah. Kalau saja aku tidak tersandera oleh pergulatan “personality” itu, mungkin saja profesor bisa kusandang pada 2007, bukan 2008. Beruntung aku bisa keluar dari sanderaan yang kuciptakan sendiri setelah banyak orang di kampus putihku tidak bosan-bosan memberikan taushiyah.
“Pak Syamsul, profesor itu juga untuk memperkuat institusi,” kata Pak Wakidi.
“Ayoh, mumpung selagi muda. Cepat diurus profesornya,” Prof. Muhadjir mengambil posisi “ing madya mangun karso”.
“Sudah sampai dimana dik berkas guru besarnya. Guru besar itu penting lo,” entah sudah berapa kali Pak Malik bertanya dengan kalimat seperti itu.
“Pak, cepat diproses. Nanti bisa berubah lo pak aturan menjadi guru besar, ” Prof. Sudjono mengingatku dari sisi regulasi. Saban ketemu dengan beliau, ya kalimat itu yang diulang-ulang.
Aku Katanya “Turun Gunung”, halaman 2