PWMU.CO – Kasus teror bom di Surabaya dan Sidoarjo menarik perhatian publik. Terlebih, pelaku teror justru “memaksa” anak-anaknya untuk dilibatkan dalam kejahatan keji itu. Terkait dengan peristiwa itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud) Prof Muhadjir Effendy menyampaikan beberapa pandangannya.
Disampaikan di studio SCTV Senayan City, Jakarta, (16/5), pertama-tama Mendikbud menyatakan ikut berduka mendalam dan menyampaikan simpatinya kepada para korban bom di Surabaya. “Saya mengecam keras pelaku kekerasan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang menentang ajaran agama apa pun,” kata Mendikbud.
Kedua, berdasarkan penulusuran Mendikbud kepada guru dan kepala sekolah tempat korban di Surabaya, anak tersebut pintar dan aktif bahkan sering menjadi pemimpin upacara. “Tidak nampak indikasi radikal sama sekali. Hal ini menguatkan radikalismenya justru tertancap dari ayahnya atau keluarga.”
Ketiga, mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini menyatakan kasus pidana bom Surabaya dan Sidoarjo tergolong punya modus baru. “Ini modus baru, orangtua melibatkan anaknya untuk bom bunuh diri.”
Karena itu, lanjut Muhadjir, sang anak tersebut sesungguhnya adalah korban radikalisasi oleh orang tuanya sendiri. “Maka harus diwaspadai dan dicari siapa pencuci otak orangtuanya,” tegas Muhadjir.
Berdasarkan pada kasus anak dikorbankan orangtua itu, tegas Muhadjir, orangtua sesungguhnya memegang peran kunci sebagai filter radikalisme selain dari sekolah. “Porsi keluarga justru lebih besar daripada sekolah. Penguatan tripusat pendidikan ajaran Ki Hajar Dewantara, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, sangat urgen.”
Kelima, Mendikbud juga menghimbau sekolah dan guru harus menguatkan hubungan dengan keluarga dan memiliki data akurat keluarga siswa sehingga bisa mengantisipasi gejala radikalisme. Komite sekolah juga harus ikut berperan.
Keenam, Muhadjir juga menyatakan sekolah-sekolah yang mengajarkan radikalisme, melegalkan ekstemisme dan kekerasan, akan diberi sanksi keras, bila perlu ditutup. “Misalnya, sekolah yang melarang upacara bendera, mangajarkan ujaran kebencian pada kelompok tertentu, atau mengajarkan intoleransi,” jelasnya mencontohkan.
Terakhir, tegas Muhadjir, guru-guru harus mulai menerapkan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) secara nyata. “Bukan sebagai pelajaran semata, tetapi juga pengalaman untuk siswa,” tegasnya. PPK misalnya mengajak siswa untuk mengenal dan berkunjung ke tempat ibadah beda agama, ke musium, menjenguk teman sakit, kerja bakti, dan lain-lain. (ahmad)