Pada zaman sekarang, orang bangga memakai pakaian “mini” ataupun “press body” yang sejatinya juga menampakkan aurat. Padahal, orang tua manusia yakni Adam dan Hawa semula tidak dapat saling melihat aurat mereka, yang berarti aurat masing-masing tertutup. Sebagai bukti, Allah berfirman dalam Q.S. al-A’raf ayat 20:
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ
“Maka setan membisikkan kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya yaitu auratnya dan setan berkata: “Tuhan kamu berdua melarang mendekati pohon ini supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak kekal di dalam surga”.
Kemudian, dalam Q.S. al-A’raf ayat 22 dikatakan:
فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّة
“Maka taktala mereka mencicipi (buah) pohon (terlarang) itu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun di surga”.
Para Ulama menyimpulkan bahwa pada hakikatnya menutup aurat adalah fitrah manusia. Pada mulanya, aurat Adam dan Hawa tertutup, lalu datanglah setan untuk membujuk keduanya agar makan buah pohon terlarang, maka Adam dan Hawa mencicipi buah tersebut, maka tampaklah aurat keduanya. Sadar auratnya terbuka, maka keduanya menutupinya dengan daun-daun yang ada di surga.
Usaha menutupi kedua aurat tersebut mengisyaratkan adanya naluri pada diri manusia sejak awal penciptaannya bahwa aurat harus ditutup agar tidak terlihat dengan cara berpakaian. Sedangkan naluri manusiawi untuk menutup aurat adalah wujud kenormalan manusia. Sehingga, orang yang menampakkan auratnya (di khalayak umum atau tempat terbuka) sejatinya melawan kenormalannya sendiri sebagai manusia.
Harus diperhatikan juga, kalimat yang dipergunakan di dalam ayat 22 surat al-A’raf, yang menunjukkan adanya ikhtiar Adam dan Hawa menutup aurat mereka:
وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّة
Kata yang digarisbawahi, yakhsifaani diambil dari kata khasf yang makna sebenarnya “menguatkan lapisan sandal dengan cara menempelkan lapisan lagi supaya kokoh”. Kata khasf di ayat ini digunakan sebagai majaz mursal sebagai bentuk memutlakkan “pengokohan” dalam berpakaian, maka dalam bahasa Arab ada istilah tsaubun khasiif yang artinya “pakaian yang tebal sehingga tidak terlihat apa yang ada di baliknya”. (Ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (2/8/64) (Tunis: al-Dar al-Tunisiyah li al-Nasyr,1984)
(Baca: Bagaimana Tuntunan Puasa Sya’ban? dan Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab?)
Adam dan Hawa tidak hanya mengambil satu lembar daun untuk menutup auratnya, karena bila hanya satu lembar daun maka pakaiannya adalah mini dan belum tentu bisa menutupi auratnya, namun mereka berdua mengambil sekian banyak lembar agar melebar dan menutup auratnya.
Salah satu buktinya adalah kata yang digunakan dalam redaksi ayat tersebut berbentuk jama’ atau plural, yang menunjukkan arti banyak, yakni waraq yang berarti “daun-daun”, yang merupakan bentuk jama’ dari waraqah (satu daun). Dalam tafsirnya ¬al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu ‘Asyur menjelaskan makna yakhshifani (dalam ayat 22 surat al-A’raf) bahwa Adam dan Hawa meletakkan daun-daun tersebut dengan cara menempelkan lembaran daun di atas lembaran lain sehingga pakaian dari daun tersebut begitu tebal.
Dari bayan (penjelasan) di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sejak awal manusia memiliki naluri untuk menutup auratnya dengan sebaik-baiknya agar jangan sampai terlihat. Kita lihat bagaimana orang tua kita, Nabi Adam AS dan istrinya Siti Hawa berikhtiar semaksimal mungkin untuk menutup aurat mereka dengan meletakkan daun-daun itu pada aurat mereka dengan menempelkan lembaran daun di atas lembaran yang lain sehingga tertutuplah aurat mereka dan tak tembus pandang.
Perlu diperhatikan juga bahwa yang membuat aurat orang tua kita yakni Adam dan Hawa terbuka, salah satunya juga karena ulah setan yang membujuk beliau berdua untuk memakan buah terlarang supaya aurat keduanya terbuka.
Dapat pula kita tarik satu pikiran, bahwa menampakkan aurat di tempat terbuka ataupun khalayak ramai adalah satu di antara tipu daya setan yang dihembuskan kepada umat manusia dalam rangka menjerumuskan umat manusia ke dalam lembah kesalahan. Maka sudah selayaknya dan seharusnya bagi manusia keturunan Adam dan Hawa untuk memperhatikan auratnya agar terjaga dengan baik dan benar.
Opini ini ditulis oleh Ahla Kembara al-Khaziny, Alumni Ma’had Abu Bakar al-Shiddiq, Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam Indonesia Jakarta, Mahasiswa Fakultas Syari’ah Program Licence, Universitas Ibnu Saud Jakarta (LIPIA Jakarta)