PWMU.CO – Ketika Nabi Muhammad saw wafat, agama Islam sudah tersebar ke berbagai wilayah. Bukan hanya wilayah Madinah dan Makkah, bahkan sudah menyebar ke Mesir, Palestina, Irak, Iran, Syria, dan seterusnya yang bukan “Arab”. Penyebaran ini juga diiringi dengan lahirnya pemeluk-pemeluk agama Islam yang kian beragam suku dan bahasanya.
Kondisi ini membuat permasalahan keagamaan umat Islam semakin kompleks, terlebih dengan telah wafatnya Nabi Muhammad saw yang langsung mendapat petunjuk dari Allah swt. “Saat Nabi Muhammad saw masih hidup, umat islam bisa langsung bertanya kepada beliau ketika menghadapi masalah,” demikian jelas Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim DR Syamsuddin saat mengawali kultum tarawih di masjid An-Nur Muhammadiyah Sidoarjo, (8/6).
Lantas siapakah yang dibebani tugas kenabian setelah Nabi wafat untuk memecahkan masalah umat? “Berarti setelah Nabi tidak ada, masalahnya dibebankan kepada siapa tugas-tugas kenabian itu?” tanya pakar hadits itu.
“Jawabnya adalah tentu saja dibebankan kepada tiap-tiap orang beriman,” jawab Syamsuddin atas pertanyaan yang diajukan sebelumnya itu. Dengan beban tanggung jawab ini, jelas Syamsuddin, maka setiap orang bisa menjadi “Nabi” bagi dirinya sendiri, kemudian meluas ke masyarakat.
Orang-orang semacam inilah yang oleh Nabi Muhammad saw, pada suatu saat nanti, disbeut sebagai orang yang asing. Ketika kemungkaran merajalela, orang yang berpegang pada agama dianggap aneh, dianggap ganjil. Sehingga Nabi pun bersabda betapa beruntungnya orang-orang yang aneh itu.
“Beruntunglah orang-orang aneh”. Sahabat bertanya, “Siapa orang yang aneh itu ya Rasulullah?” Nabi menjawab, yaitu orang-orang yang melakukan perbaikan pada saat masyarakat rusak,” begitu bunyi terjemahan hadits tentang keberuntungan orang-orang asing itu.
Dengan demikian, tegas Syamsuddin, “asing” bukan berarti hanya dalam tampilan asesoris, tapi lebih pada makna yang substansial. Orang aneh yang beruntung tersebut adalah umat Muslim yang tak lelah melakukan perbaikan ketika masyarakat sedang rusak.
“Seperti air buat hadats, harus suci dan mensucikan. Begitu juga orang yang masuk dalam tugas kenabian harus suci dulu sebelum mensucikan yang lain”, pungkas Syamsuddin. (ernam)