PWMU.CO-Di tengah sliweran arus pemikiran radikal di kalangan umat muslim, warga Muhammadiyah dan Aisyiyah diminta berpegang pada tujuh prinsip utama dalam berdakwah sebagai umat wasatiyah.
Hal itu disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur Dra Hj Dalilah Candrawati dalam tablig akbar memperingati milad Aisyiyah ke-101 di Pantai Kelapa Desa Panyuran, Tuban, Rabu (20/6/2018). Acara ini digelar oleh Pimpinan Cabang Aisyiyah Palang Tuban yang dihadiri ratusan kadernya.
”Muhammadiyah dan Aisyiyah adalah organisasi Islam yang menganut paham wasatiyah yaitu Islam yang berada di tengah-tengah. Kita harus tahu betul posisi kita di negara ini,” kata Dalilah Candrawati. ”Kita harus memahami tujuh prinsip dakwah wasatiyah.”
Prinsip pertama, kata Bu Candra, pangglan akrabnya, adalah nilai i’tidal. ”Yaitu bangun dari rukuk, kita harus berdiri tegak lurus dalam memperjuangkan kebenaran, berlaku adil dan tanggung jawab. Di sinilah pentingnya kita tetap berdiri menegakkan Islam menuju mayarakat Islam yang sebenar-benarnya,” ujarnya.
Kedua, tawazun yaitu keseimbangan. ”Keseimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Jangan sampai kita ini ibadahnya masya Allah (bagus, maksudnya) tetapi dengan tetangga masya Allah-hu (tidak patut). Oleh karena itu dalam konteks ini, marilah kita menjadi contoh yang baik di masyarakat agar kita menjadi manusia-manusia yang bersikap tawazun dalam menjalani kesalehan individual dan kesalehan sosial,” katanya.
Ketiga, tasammuh. Sikap toleransi. ”Bagaimana kita menjalani toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Kita mengakui adanya kemajemukkan, bangsa kita, maysrakat kita Indonesia ini bukan masyarakat yang satu warna, tetapi banyak warna, banyak macam, banyak ragam dari Sabang sampai Marauke, ada suku apa saja. Kita mengakui kemajemukkan, kita harus saling menghormati perbedaan,” ujarnya.
Paham berbeda, partai berbeda, apa lagi menjelang pilgub, pileg, pilpres ini. Muhammadiyah Jawa Timur, sambung dia, pada kajian Ramadhan lalu memutuskan tidak menyerukan ke satu pilihan. Silakan bebas memilih. Tidak ada ketentuan harus milih A, milih B karena itu adalah hak dari masing-masing individu dengan konsekuensi setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan di dunia sampai akhirat.
Keempat yaitu syuro, bermusyawarah. Kata Candra, Allah sudah memerintahkan hendaklah kita senantiasa bermusyawarah. PCA waktu mau mengadakan acara di sini musyawarah dulu, itu sudah kultur di Aisyiyah dan Muhammadiyah. ”Jangan sampai rapat cuma lewat WA, diputuskan dua orang. Ini bukan sistem yang kita anut. Maka muncul postingan di WA berbunyi ’wis disiapno mejo, digorengno telo, tibake ora teko, riyoyone lewat WA.’ Jadi setiap ada masalah kita putuskan lewat musyawarah, tentunya tidak perlu voting,” tandasnya.
Kelima adalah Islah. Melakukan perbuatan-perbuatan terbaik. Konstruktif, responsive. ”Orientasinya adalah kemaslahatan umat. Dalam keluarga saja ketika terjadi disharmoni kalau dalam bahasa hukum itu pisah ranjang, turu dewe-dewe, bahkan sampai terjadi cerai, maka Alquran mengingatkan agar kamu itu rujuk apabila kamu menghendaki adanya islah,” ujarnya.
Keenam adalah kudwah, keteladanan. Di manapun kita harus menjadi uswatun hasanah. Bukan uswatun syai’iah. Itulah perlunya kita selalu melakukan prakarsa-prakarsa yang terbaik, yang inovatif, yang kreatif. Sudah barang tentu itu tidak bisa berjalan sendiri tanpa bermitra dengan orang lain.
Ketujuh, muwathanah. ”Mengakui NKRI, negara yang sudah disaksikan sejak zaman kemerdekaan. Tentunya kita harus komitmen dengan janji sebagai warga negara yaitu kita harus berperan aktif sebagai warga negara yang baik. Jangan malah ngompori, jangan malah ngrusui, jangan malah ngobong-ngobongi,” katanya.
Terakhir dia berpesan, kita harus menjadi perekat. Karena wasatiyah Islam itu adalah menjadi umat yang bisa merekatkan antara satu dengan yang lain, baik itu sesama agama maupun yang berbeda agama. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberkahi tujuan kita yang sama untuk kemaslahatan umat dan negara.
Saat menuju tempat acara Dalilah Candrawati sempat kesasar hingga Kota Tuban. Waktu masuk Pantai Kelapa Panyuran juga masih kesasar. ”Saya bertemu bapak-bapak yang bertanya, ibu ke acara Aisyiyah? Saya jawab iya. Diantarkanlah saya sampai di sini. Itulah untungnya kita pakai seragam Asyiyah. Kalau tidak pakai seragam, mungkin dipikirnya saya piknik tadi. Mohon maaf juga saya lewat pintu belakang tidak lewat pintu depan,” tutur Bu Candra disambut tawa para undangan. (Iwan Abdul Gani)