PWMU.CO – Model pendidikan modern yang digagas oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, tidak hanya dikhususkan untuk mencetak kader Muhammadiyah. Namun, bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa tanpa membedakan latar belakang. Dakwah lewat pendidikan ini menekankan perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
Tak heran jika dalam dunia pendidikan Muhammadiyah, semua kalangan bisa mengenyamnya, hatta non-Muslim sekalipun. Di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya non-Muslim, pendidikan Muhammadiyah berjalan dengan jumlah siswa non-Muslim yang signifikan bahkan di beberapa tempat predominan. “Di daerah Papua, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur siswa-siswa Kristen yang sekolah di lembaga pendidikan itu dikenal dengan Krismuha, singkatan dari Kristen Muhammadiyah,” jelas Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Syafiq A. Mughni.
Di Nusa Tenggara Timur misalnya, tambah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim 2005-2010, Muhammadiyah memiliki sebuah universitas UMK atau Universitas Muhammadiyah Kupang. “Universitas ini sering kali diplesetkan menjadi Universitas Muhammadiyah Kristen, karena mayoritas mahasiswanya beragama Kristen,” jelas Syafiq tentang dakwah Muhammadiyah yang bersifat universal-kemanusiaan itu.
(Baca: Ini Penjelasan Mengapa Sekolah Muhammadiyah Tak Harus Lahirkan Kader Muhammadiyah dan Kiai Dahlan Dirikan Sekolah Nasionalis 11 Tahun Sebelum Ki Hajar Dewantara)
Lebih lengkap tentang varian “Krismuha” ini telah diangkat oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah 2015-2020, DR Abd. Mu’ti. Dalam buku “Kristen Muhammadiyah Konvergensi Muslim dan Kristen dalam Pendidikan” yang merupakan disertasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu, Mu’ti menggambarkan perkembangan sekolah Muhammadiyah di daerah mayoritas non-Muslim yaitu Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Seruai, Papua, serta Putussibau, Kalimantan Barat.
Di Kabupaten Ende yang penduduknya 250.000 jiwa, umat Islam hanyalah berjumlah 29,21 %, sementara Katolik 69,25% dan Protestan 1,4%. Alkisah, di daerah ini berdiri SMA Muhammadiyah yang didirikan oleh Abdurachman Nggobe pada 1971. “Sebelum mendirikan SMA Muhammadiyah, Nggobe menghadap Uskup Agung (emeritus) Ende, Mgr Donatus Djagom,SVD, untuk mengetahui pendapat Gereja Katolik tentang Muhammadiyah dan rencana pendirian SMA Muhammadiyah. Uskup Agung merespons positif, bahkan memberikan sumbangan untuk pembangunan SMA Muhammadiyah,” jelas Mu’ti.
(Baca: Nonmuslim pun Berterima Kasih pada Muhammadiyah dan Hajriyanto: Muhammadiyah Tak Perlu Banyak Produksi Kata-Kata)
Dalam pandangan Nggobe, SMA Muhammadiyah harus memberikan pendidikan bagi masyarakat Ende yang berasal dari keluarga ekonomi lemah. Sejak awal berdirinya, SMA Muhammadiyah sudah menerima siswa non-Muslim. “Dari jumlah siswa permulaan sebanyak 34 orang, 25-30% merupakan siswa non-Muslim, yaitu Katolik, agama mayoritas di Ende. Pada 2007, jumlah siswa mencapai 135 orang, 2/3 atau 90 orang siswa beragama Katolik,” jelasnya sambil menunjukkan dalam setiap kelas mencapai 2/3 sehingga jumlahnya dalam satu kelas berkisar 10-15 orang.
Ada beberapa alasan mengapa para siswa Kristen tertarik pada SMA Muhammadiyah. Pertama, karena mutu sekolah yang baik. Kedua, biaya pendidikan relatif terjangkau dan bisa dicicil. Ketiga, SMA Muhammadiyah memberikan Pendidikan Agama Kristen (PAK) dengan guru-guru Katolik.
Keempat, letak sekolah dekat dengan rumah siswa. “SMA Muhammadiyah juga mendorong dialog antaragama. Bagi siswa Katolik, dengan belajar di sekolah tersebut, mereka memperluas wawasan tentang Islam dan hal ini penting untuk memperluas wawasan seorang Katolik.” Selanjutnya halaman 2