PWMU.CO-Sinar mentari belum juga tinggi, Nuraini Saechu SAg MPdI sudah berpakaian rapi berjas coklat dan berkopyah hitam, berangkat ke tempat shalat Idul Fitri di halaman masjid Al Manaar, Desa Sukowidodo, Kecamatan Karangrejo Kabupaten Tulungagung, Jumat (15/06/2018). Begitulah sesaat kesibukan Nuraini Saechu, yang biasa dipanggil Nur, ketika akan menyampaikan khutbah Idul Fitri 1439 H.
Dalam khutbahnya, Nur mewasiatkan bahwa segala amalan dan semangat beribadah yang dikerjakan di bulan Ramadhan haruslah diteruskan di luar bulan ramadhan sampai bertemu ramadhan lagi tahun depan. Ramadhan yang baru saja berlalu, lanjut Nur, setidaknya telah meninggalkan 4 (empat) pesan penting yang wajib diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari pasca ramadhan.
Empat pesan penting tersebut, kata Nur, adalah pesan moral-spiritual, pesan sosial, pesan jihad, dan pesan ukhuwah. “Jika kita mampu melaksanakan ke-empat pesan penting tersebut dalam kehidupan pasca ramadhan berarti itu sebagai indicator bahwa puasa kita betul-betul telah sampai kepada derajat taqwa,” ucap Nuraini Saechu.
Begitu khotbah selesai, jamaah sholat idul fitri saling bersalam-salaman dan membubarkan diri, begitu juga Nuraini dan seluruh keluarganya yang memang ikut shalat Id di situ. Pria yang juga Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Muhamamdiyah Bandung Tulungagung ini, langsung mudik ke kampung asal di Desa Sumberkembar, Kecamatan Binangun Kabupaten Blitar. Di desa tersebut tinggal kedua orang tuanya dan keluarga besarnya beserta sanak saudaranya. Di sana sudah menunggu saudara pertama Siti Nafsiyah dan orangtuanya, Saechu dan Isminah.
Setelah dirasa cukup bersilaturahim dengan keluarga di Blitar, Nuraini kembali ke Tulungagung untuk melakukan open house. Saat dikunjungi kontributor pwmu.co, Nuraini mengisahkan perjalanan hidupnya yang kemudian menjadi “muallaf” di Muhammadiyah.
“Syair lagu Sang Surya-lah salah satu yang menjadi sebab atau jalaran yang mengubah jalan hidup saya menjadi Muhammadiyah, terutama pada syair: Ya Allah Tuhan Robbiku, Muhammad Junjungan-ku, Al Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku…bahkan sampai sekarang saya sering meneteskan air mata ketika mendengar syair itu,” ucap dia.
Nuraini mengisahkan lagu itu hanya pemicu hijrah dirinya. Dikatakan, pergulatan pemikiran sudah terjadi semenjak tahun 1984/1985-an saat dirinya masih sekolah di salah satu madrasah yang dikelola oleh LP Ma’arif, di Lodoyo-Blitar. Dia mengakui awalnya mula terjadinya kegalauan dalam hatinya adalah saat ada salah satu guru di sekolah tersebut menjelaskan makna sebuah hadits, bahwa Islam itu pecah menjadi 73 golongan.
Dari 73 golongan tersebut, lanjut dia, yang selamat hanya satu, selebihnya semuanya sesat dan kelak akan masuk neraka. Satu golongan yang selamat tersebut adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Guru tersebut kemudian menambahkan penjelasan, siapakah golongan ahlussunnah wal jama’ah itu? Menurut guru tersebut, kisah dia, yang dimaksud ahlussunnah wal jama’ah adalah…. (dengan menyebut kelompok tertentu).
“Menurut pemikiran saya, pendapat guru tersebut tidak benar karena golongan yang disebut oleh guru saya tersebut hanya ada di tempat atau Negara tertentu, sementara ummat Islam ini tersebar ke hampir semua negara-negara di dunia,: tutur dia.
Jika yang benar dan masuk syurga hanya kelompok yang dijelaskan gurunya tadi, lanjut dia, lantas bagaimana dengan nasib ummat Islam yang berada di Negara lain? Itu logika sederhana yang dimiliki oleh Nuraini remaja. Maka kemudian terjadilah perdebatan antara guru dan murid yang berakhir dengan kemarahan sang guru karena sang murid yang masih kecil itu dianggap telah berani keladuk atau dianggap kewanen dengan gurunya.
Sejak terjadinya peristiwa itu, dirinya benar-benar penasaran apa dan bagaimana Muhammadiyah itu, kenapa selalu dijadikan contoh yang “kurang baik” bagi guru-gurunya sewaktu di MTs dulu, bahkan juga sering dihujat di pengajian-pengajian di desanya dulu.
Kemudian di 1986, setamat dari MTs, Nuraini hijrah ke Tulungagung untuk mewujudkan cita-citanya menjadi sarjana yang pertama di desa kelahirannya, mengingat saat itu belum ada anak seusianya mau nekat meneruskan sekolah sampai tingkat lanjutan.
Pada 1986-1989 menempuh pendidikan di PGAN Tulungagung. Setamat dari PGA Nuraini lantas melanjutkan pendidikannya di STIT Muhammadiyah Tulungagung.
Kepada PWMU.CO Nuraini mengungkapkan alasan kenapa lebih memilih kuliah di STIT Muhammadiyah dan bukan di IAIN? “Ya untuk memenuhi rasa penasarannya terhadap Muhammadiyah.”
Nuraini ingin mengetahui lebih mendalam tentang ideologi Muhammadiyah, tentang paham-paham keagamaan Muhammadiyah dan tentang gerakan-gerakan Muhammadiyah yang membuat Muhammadiyah banyak tidak disenangi oleh guru-gurunya waktu di MTs dulu dan juga orang-orang di desanya, yang selalu menganggap Muhammadiyah sebagai “agama” yang beda dengan mereka.
Selanjutnya Nuraini mengisahkan, pada 1994, saat akhir-akhir jadi mahasiswa di STIT Muhammadiyah Tulungagung, dirinya juga aktif di organisasi lainnya. Bahkan beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris.
Namun karena ada banyak hal kurang cocok dengan pola pikirnya, akhirnya pada 1996 beliau keluar dari organisasi tersebut. “Ada banyak hal, apakah itu budaya atau kebiasaan yang feodalistik atau juga pemikiran-pemikiran yang kurang cocok dengan pola pikir saya yang progresif,” tuturnya.
Karena faktor lagu Sang Surya dan juga karena pergulatan pemikiran seperti itulah kemudian Nuraini mencari banyak referensi dan juga membaca banyak literatur untuk mencari penjelasan tentang apa dan bagaimana Muhammadiyah.
Selain itu, Nuraini mengaku juga ber-sillaturrohim kepada beberapa tokoh dan sesepuh Muhammadiyah di Tulungagung untuk berdiskusi dan meminta petuah-petuahnya. Dari hasil pergulatan pemikiran dan juga berdiskusi dengan banyak tokoh dan sesepuh Muhammadiyah akhirnya menimbulkan ketertarikan yang sangat kuat untuk ber-Muhammadiyah.
Dan akhirnya secara resmi beliau masuk kepengurusan Muhammadiyah pada 2000 dan langsung menjadi Pengurus Cabang Muhammadiyah Kecamatan Karangrejo.
Selanjutnya pada 2002, PCM Karangrejo mendirikan AUM bidang ekonomi, yaitu Baitut Tamwil Muhammadiyah yang kemudian diberi nama BTM AN-NUUR. Dia ditunjuk sebagai managernya. “Alhamdulillah, sampai saat ini BTM An-Nuur masih tetap eksis bahkan terus berkembang sehingga mampu menjadi penopang dakwah persyarikatan di wilayah Kecamatan Karangrejo dan sekitarnya,” ucap dia.
Salah satu karyawan senior BTM An-Nuur, Nurul Farida menceritakan di bawah kepemimpinan Nuraini, BTM AN-NUUR mengalami kemajuan pesat. Dikatakan, pada 2002, kantornya hanya mengontrak, tetapi pada saat ini sudah memiliki kantor sendiri yang cukup megah.
Kantor BTM berlantai dua berada di Jalan Raya Sembon Karangrejo, yang saat ini sedang dalam proses finishing. “Dan Insya Allah pada akhir tahun 2018 kantor tersebut sudah bisa ditempati,” Kata Nurul Farida.
Selanjutnya, pada 2005, Nuraini Saechu terpilih dalam Musyawarah Daerah Muhammadiyah Tulungagung sebagai pengurus PDM periode 2005 – 2010. Kemudian pada Musyda berikutnya beliau juga terpilih lagi sebagai pengurus PDM periode 2010 – 2015.
Pada dua periode tersebut, beliau mendapat amanat sebagai Wakil Ketua PDM yang membidangi Wakaf dan Keharta Bendaan serta Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh (Lazis). Pada masa beliaulah kemudian Lazizmu mulai ditangani secara professional.
Pada Musyda 2015, beliau juga terpilih lagi sebagai pengurus PDM periode 2015–2020. Dan saat ini di jajaran Pimpinan Daerah Muhamamdiyah, beliau menjabat sebagai sekretaris. “Pekerjaan berat PDM saat ini adalah bagaimana PDM bisa memperkuat dan mengembangkan tiga pilar, yakni memajukan pendidikan, kesehatan dan kemandirian ekonomi,” kata dia.
Selain itu, lanjut dia, pengembangan dan penambahan cabang dan ranting Muhammadiyah yang masih sulit diwujudkan ini juga perlu mendapat perhatian serius, agar pertumbuhan dan perkembangan persyarikatan di Tulungagung tidak mengalami stagnasi. “Kendala-kendala yang ada seperti minimnya kader dan jamaah di beberapa kecamatan harus segera dicarikan solusinya,” imbuhnya
Pria yang didalam ber-Muhammadiyah selalu berpegang teguh pada pesan KH. Ahmad Dahlan “Hidup hidupilah Muhammadiyah dan janganlah mencari Penghidupan di Muhammadiyah” ini berpesan dan mengajak seluruh elemen Muhammadiyah bergerak dan melakukan gerakan, mulai dari ortom, majelis dan lembaga untuk membesarkan Muhammadiyah di Tulungagung ini agar bisa mengejar ketertinggalan dengan daerah lain. Termasuk bagaimana supaya ranting dan cabang-cabang baru bisa didirikan, sehingga Muhammadiyah Tulungagung semakin ngremboko.
Di sinilah, aku dia, dituntut kesungguhan dan keihklasan sebagai kader Muhammadiyah untuk bergerak bersama-sama. Peran LPCR juga perlu dimaksimalkan agar tumbuh ranting-ranting dan cabang-cabang baru yang bisa menjadi penopang dakwah persyarikatan. Tentu LPCR juga tidak bisa bergerak sendiri. Harus ditopang oleh majelis dan lembaga lainnya, terutama Lazismu yang merupakan lembaga filantropy, yang gerak dakwahnya lebih mudah diterima oleh kalangan manapun, pungkasnya. (hendra pornama)