PWMU.CO – Sebut saja namanya Candra Budi, yang sedang galau dalam masalah redaksi doa yang diambil dari ayat al-Qur’an. Kepada seorang temannya, dia pun bertanya: bolehkan doa-doa yang ada dalam al-Qur’an yang diawali dengan qul, seperti qul a’uudzu … dipakai untuk berdoa dengan membuang kata qul. Sehingga menjadi misalnya qul a’uudzu bi rabbil falaq menjadi a’uudzu bi rabbil falaq dan seterusnya?
Dalam masalah ini, tulis almarhum KH Mu’ammal Hamidy, para ulama sepakat doa-doa dalam al-Qur’an sangat baik untuk dipakai. Namun, banyak doa itu didahului dengan “qul” yang artinya katakanlah atau ucapkanlah atau bacalah, suatu perintah kepada Nabi saw dan kepada kita sebagai umatnya. Sekarang perintah doa seperti itu ingin kita tirukan.
Kalau kata “qul” itu kita sebut kembali, –padahal doa itu ditujukan kepada Allah– maka sama halnya kita menyuruh Allah membaca doa itu. Subhanalllah, ini sudah barang tentu tidak benar.
(Baca: Doa Memasuki Bulan Rajab dan Khatib Harus Jadi Imam Shalat Jum’at?)
Karena itu, menurut Mu’ammal, kata “qul” itu boleh dibuang. Sebagai contoh ketika Rasululah saw diperingatkan Allah untuk tidak menirukan bacaan Jibril sebelum Jibril selesai membacakan wahyu, lalu beliau disuruh berdoa dengan qul waqul rabbi zidni ‘ilma (QS Thaha: 113-14), beliau kemudian berdoa:
اللَّهُمَّ انْفَعْنِي بِمَا عَلَّمْتَنِي وَعَلِّمْنِي مَا يَنْفَعُنِي وَزِدْنِي عِلْمًا الْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ حَالِ أَهْلِ النَّارِ
Ya Allah, ya Tuhanku, berilah aku kemampuan untuk memanfaatkan ilmu yang telah Engkau ajarkan kepadaku, dan ajarilah aku apa saja yang kiranya bermanfaat bagiku, serta berilah aku tambahan ilmu, ala kulli hal (aku tetap bersyukur dengan mengucap) alhamdulillah (atas ilmu yang Engkau berikan kepadaku itu), dan lindungilah aku dari tingkah laku (calon-calon) penghuni neraka (agar aku tidak terpedaya). Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Bazzar, dari sahabat Abu Hurairah. Masalah ini juga bisa dilihat dalam kitab Tafsir al-Munir, DR Wahbah az-Zukhaili, juz 16, halaman 290.
Contoh lain adalah seperti yang diriwayatkan Utsman bin Affan: Aku sakit, lalu Rasulullah saw membesuk dan mendoakan aku:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيْمِ، أُعِيْذُكَ بِاللهِ اْلأَحَدِ الصَّمَدِ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ
Dengan nama Allah, Pemurah lagi Penyayang. Kumohonkan engkau perlindungan kepada Allah yang Esa, Dzat tempat bergantung, yang tiada beranak dan tiada diperanakkan, dan tidak ada satupun makhluk yang menyamai-Nya. (R Ibnu Sunni, al-Adzkar Nawawi, halaman 125, dan Himpunan Doa dan Dzikir, Mu’ammal Hamidy, halaman 96).
(Baca: Hukum Shalat Perempuan yang Mengalami Keguguran dan Posisi Tangan saat I’tidal)
Di situ Nabi saw tidak membaca waqul rabbi zidni ilma, dan tidak pula qul huwa Allah Ahad, tetapi qul-nya dibuang. Berdasar dua contoh di atas, Mu’ammal berpendapat kata “qul” dalam doa di al-Qur’an yang hendak kita tirukan, boleh dibuang.
Ini bukan mengubah dan mengurangi ayat al-Qur’an, tetapi kalau kita membaca al-Qur’an dengan niat berdoa, — seperti dalam ruqyah misalnya, dengan surat al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas– ayat-ayatnya harus dibaca lengkap, termasuk qul.
Seperti yang dilakukan Rasulullah saw ketika hendak tidur, beliau merapatkan dua tapak tangannya sambil membaca “qul huwallahu ahad”, “qul a’uudzu birabbil falaq”, dan “qul a’udzu birabbinnas”, lalu kedua tapak tangannya ditiup lalu diusapkan ke seluruh tubuhnya. Hal itu diulang sampai tiga kali. (HR Bukhari dan Muslim)