Sesekali aku coba bertugas sebagai pelinting rokok “amatiran” yang berkompetesi dengan abahku yang memang terlihat profesional. Ini terlihat dari gerakan tangan dan hasil lintingannnya yang halus. Oh ya, abahku tidak lupa membawa cengkeh yang ditambahkan pada tembakau. Rasanya? Aku mencuri-curi kesempatan merasakan sensasi rokok yang kulinting. “Heh, gi’ nak kanak!” (Hai masih kecil). Diinterupsi dengan kalimat seperti itu, aku segera melepas rokok murni bikinanku.
Tetapi abahku seperti ingin membiarkan diriku menghabiskan separuh atau seperempat kopi yang tidak sempat diminumnya karena jeda “laot” sudah habis. Abahku sering berkelakar begini: “Engko’ angoan tak ngakan etembang ta’ aroko’ bi’ ngopi.” (Saya mendingan tidak makan daripada tidak merokok dan minum kopi).
(Baca juga: Belajar dari Abu Nawas dan Penjual Sate dan Meraih Kemabruran Haji)
“Mah…kemmah kopina?” ( Mah…mana kopinya). Teriakan seperti itu biasa terdengar selepas Subuh, jika kopi belum tersedia di meja dimana abahku menikmati rokok plus kopi dengan gaya yang berkarakter. Mah. Panggilan apa itu? Abahku biasa menanggil ibuku hanya dengan menyebut tiga huruf terakhir dari nama lengkapnya: Sutimah.
Dengan isteri sebelumnya yang melahirkanku, juga dipanggil dengan cara yang simpel, Bun Syamsul. Setelah ibuku wafat kala aku masih seusia anak TK dan abahku sedang menunaikan ibadah haji pada 1970-an, abah memilih beristeri dengan prempuan yang biasa dipanggil Mah itu. Ibu sambungku inilah yang selalu menyediakan kopi untuk abahku.
(Baca: Ketika Profesor Turun Gunung Mengajar Siswa Kelas IV SD serta Ka’bah dan Doa Aneh Umar bin Khattab)
Kopi dan rokok telah membentuk otot, tulang, darah, dan otak orang Madura. Setiap tamu yang datang ke rumah, kalau lelaki, pastilah rokok dan kopi sebagai suguhannya. Pemilik rumah tidak berlu bertanya ihwal selera tamunya. Pernah seorang kyai datang ke rumahku. Kedatangan kyai, berarti keberkahan bagi rumah dan semesta isinya. Begitulah keyakinan, setidaknya di kalangan keluargaku.
Aha, kyai tidak menghabiskan kopi racikan dan suguhan nenekku. Aku mengetahuinya karena bukan cangkir, tetapi gelas yang dipilih nenekku. Begitu kyai pulang, maka seketika terjadi perlombaan berebut sisa kopi kyai, antara aku dengan nenekku. Akulah pemenangnya. Tetapi aku masih menunjukkan bakti. Masih ada sisa kopi yang mau kubagi dengan nenekku. Aku mau berbagi keberkahan dengan nenekku.
(Baca: Dua Versi Pandangan tentang Arah Kiblat, Anda Pilih Mana? dan Satu Tanggal Satu di Bumi yang Satu: Catatan Penulis Buku ‘Ayat-Ayat Semesta’ soal Kalender Hijriyah Global)
Mengingat masa kecilku, aku dibuat tersenyum seorang diri. Biarlah anak-anakku tidak perlu mereplikasi masa kecilku pada bagian episode seperti itu. Namun aku selalu bertaushiyah kepada mereka agar jangan sekali-kali menggerus takzim kepada guru-gurunya. Ada ungkapan kebajikan Madura yang selalu kuingat: “Babbu, buppa, guru, rato” (Ibu, bapak, guru, dan pemimpin).
Kepada keempat pihak itulah, rasa hormat orang Madura tertuju. Kepada ketiga anakku, aku bahkan mengatakan agar mencium tangan gurunya. Sebagaimana kebajikan Madura yang menegaskan tidak ada mantan guru, begitu pula yang kuingatkan pada anak-anakku.
Kembali ke tema kopi. Gadisku rupanya memiliki kemiripan dengannku. Aku tak kuasa melarangnya minum kopi. Bagaimana aku melarang, kalau aku menyukainya. Saking mirip, bahkan aku pernah berjumpa di warung kopi yang sama, kendati sama sekali tidak pernah mengikat janji. Melihat gadisku di pojok menikmati kopi sambil di depannya ada laptop beserta beberapa buku, aku terlebih dahulu tersenyum sebelum pada akhirnya dia kaget dengan sapaanku.
(Baca: Alphard, Mobilitas Dakwah, dan Muhammadiyah Madura, serta Menyoal Status Hukum Minum Kopi Luwak)
Gadisku paling heboh kalau kutawarkan ajakan ke tempat “ngopi” yang memiliki brand internasional. Tetapi rokok, aku pasti punya kuasa melarang utamanya kepada kedua lelakiku. Lelakiku yang pertama, tidak merokok. Mungkin karena ayahnya jauh dari kebiasaan yang menurut banyak kalangan dianggap sebagai gaya hidup tidak sehat. Sedangkan lelakiku kedua, masih kanak-kanak.
Children see, children do. Begitu kebajikan dalam Living Values Education atau LVE yang kupelajari. Kebiasaanku ngopi dibentuk sejak kecil. Aku sempat tergantung pada rokok, sebelum pada akhirnya aku betul-betul menjatuhkan thalaq tiga dengannya, jelang pernikahanku dengan seorang wanita yang dengan setia mendukungku dalam rentang waktu melampaui sepertempat abad
Kolom Opini ini ditulis oleh Prof Syamsul Arifin, Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ditulis pada 30 April 2016 di RS UMM, Kemuning Lt. IV, Kamar 418.