PWMU.CO – Fenomena korupsi layaknya penyakit kanker. Sudah menyebar masuk disetiap sendi dan juga lini kehidupan. Terutama fenomena korupsi marak terjadi di kalangan pejabat publik. Suap maupun upeti, seolah menjadi bagian dari tradisi yang berkembang dan mengakar di masyarakat luas.
Menyikapi persoalan tersebut, dan sebagai tindak lanjut dari survey yang dilaksanakan (15-22 April 2016) tentang persepsi masyarakat mengenai korupsi di Indonesia yang dilakukan Centre For Strategic And International Studies (CSIS), dilakukan Fokus Grup Diskusi (FGD) di Surabaya Suites hotel, Selasa (10/6).
FGD yang berlangsung dari pukul 13.00 hingga pukul 15.00 ini, diikuti oleh Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jatim, Lakpesdam NU, Pusako UTM, PSAKHP UNAIR dan Komisi Yudisial (KY). Juga Kadin, Ombudsman, HIPMI, dan Sosiologi UTM. Selain itu juga diikuti oleh istri Rektor UINSA, Parlemen Watch, Malang Corruption Watch( MCW) dan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), serta KPUD Surabaya.
(Baca juga: Kecantikan Seorang Muslimah dalam Perspektif Muhammadiyah)
Dalam kesempatan itu, Direktur ekskutif CSIS Dr Philif J Vermonte yang memandu acara, menampilkan hasil survey yang telah dilakukan. Philif memaparkan penilaian publik atas kinerja KPK. ”Publik menilai KPK sebagai lembaga penegak hukum yang relative independen. Terutama dari segi penindakan. Terutama urusan menangkap koruptor (pelaku korupsi). Namun, tidak dari segi pencegahan,” papar Philif.
Philif kemudian melontarkan pertanyaan kepada para peserta. Faktor apa saja yang menyebabkan perilaku koruptif? jawaban yang dilontarkan para peserta pun beragam. Mulai dari supremasi penegakan hukum di Indonesia yang dinilai lemah, birokrasi pemerintah yang tidak transparan, dan pola rekruitmen PNS yang masih menggunakan uang (suap) untuk bisa diterima.
Kemudian faktor rendahnya kesejahteraan pejabat publik juga dinilai ikut andil dalam menyuburkan budaya korupsi di kalangan pejabat publik. Sehingga korupsi yang dilakukan pejabat publik, menyebabkan kerugian negara. Tak hanya itu, bagian yang dinilai juga turut menyokong perilaku korupsi di Indonesia adalah gaya hidup dan mental menerabas masyarakat.
Wakil Ketua PWPM Jatim Bidang Politik Abdus Salam mengatakan, tradisi suap dan upeti sudah menjadi budaya, mengakar di masyarakat. Terutama di kalangan pejabat. Karena birokrasi pemerintahan kita, lanjut Salam tidak transparan. Baik segi program maupun pengelolaan anggarannya. Sehingga ketidak transparan itu, menambah suburnya praktik dan perilaku korup di kalangan pejabat.
”Meskipun Muhammadiyah dan NU menerbitkan buku koruptor itu kafir, tetapi seolah tidak memberi efek jera bagi pelaku korupsi di Indonesia. Pejabat publik bahkan tidak malu-malu untuk melakukan korupsi. Perangainnya juga semakin menjadi dan tidak segera memperbaiki,” tandasnya. (aan)