Pada 1–6 Agustus 2018 Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menggelar muktamar ke-18 yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jawa Timur. Muktamar yang bertema Meneguhkan Pancasila sebagai Sukma Bangsa untuk Indonesia Sejahtera itu diikuti 34 dewan pimpinan daerah (DPD) IMM dari seluruh Indonesia.
Tantangan terbesar perhelatan dua tahunan itu adalah bagaimana menumbuhkan benih-benih karakter dan spirit kepemimpinan muda Islam di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah yang berasal dari segala penjuru Nusantara. Tujuan strategisnya, para pemimpin muda itu dapat menjadi modal sosial bagi negara ini di masa depan; menjadi sukma bangsa dalam mewujudkan Indonesia sejahtera.
Kendatipun, menjadi pemimpin muda di era sekarang bukanlah hal mudah. Kita dihadapkan pada berbagai persoalan bangsa yang menggurita. Korupsi telah menjadi berita sehari-hari. Para pelakunya adalah tokoh publik yang mestinya menjadi teladan generasi muda dalam bersikap dan berperilaku. Dalam situasi seperti itu, integritas menjadi kata kunci yang harus dimiliki pemimpin muda sebagai bagian dari tanggung jawab kebangsaan.
Di awal 2018, Transparency International merilis indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia untuk tahun 2017. Indeks diterapkan pada 180 negara, di mana peringkat pertama (paling bersih) dihuni Selandia Baru, sementara peringkat ke-180 atau yang paling korup diduduki Somalia. Lalu, di mana posisi Indonesia? Indonesia berada di peringkat ke-96, sedikit lebih buruk jika dibandingkan dengan 2016, yaitu peringkat ke-90.
Di antara sekian kasus korupsi yang terungkap tahun lalu, kasus Setya Novanto tentu paling mengundang perhatian. Selain soal kisah dan drama di balik penangkapannya, yang perlu dicatat adalah posisinya sebagai ketua DPR. Yang lebih menarik, ternyata fenomena korupsi tak hanya terpusat, tapi juga sudah menyebar ke daerah. Dalam 13 tahun terakhir, 56 kepala daerah menjadi terpidana korupsi. Luar biasa.
Korupsi dan ketidakadilan menjadi dua sisi kontras yang dihadapi bangsa ini. Sayang, hingga kini pemerintah belum mampu menga- tasi persoalan ketidakadilan itu. Meskipun Menteri Keuangan Sri Mulyani mendapat predikat menteri terbaik, faktanya, dia belum mampu membawa rakyat Indonesia berdaya dan berdaulat dari segi ekonomi. Bahkan, nilai tukar rupiah terhadap dolar kini menembus 14.000.
Di sinilah anak-anak muda Muhammadiyah sebagai bagian dari pemimpin muda Islam punya tantangan besar untuk berkhidmat mewujudkan Indonesia yang berkeadilan, berdaulat, dan berkemajuan. IMM sebagai wadah perjuangan mahasiswa Muhammadiyah harus berpihak kepada rakyat. Selalu mendukung program dan kebijakan pemerintah yang dirasa baik dan prorakyat. Begitu pula sebaliknya, harus tetap melawan segala bentuk tindakan yang dianggap dapat merugikan rakyat. Itulah spirit progresivitas yang harus dimiliki kader muda Muhammadiyah. Itulah integritas pemimpin muda bangsa.
Bagaimanapun, perlawanan terhadap ketidakadilan harus menjadi ciri kepemimpinan muda Islam yang spiritnya memiliki akar sejarah yang kuat. Karena itulah, kehadiran Nabi Muhammad, terutama melalui Piagam Madinah, adalah ikhtiar untuk menghadirkan keadaban yang berlandas nilainilai keadilan dan perdamaian.
Di dalam piagam itu, terdapat upaya rekonsiliasi terhadap suku Aus dan Khazraj, distribusi hak dan kewajiban golongan Anshar dan Muhajirin, serta konstruksi tata tertib sosial antara kaum muslimin dan umat nonmuslim. Piagam Madinahlah yang pada gilirannya menghadirkan keadilan di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Tak heran jika kemudian penulis Amerika Michael H. Hart dalam bukunya, The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History, menyebut Nabi Muhammad sebagai tokoh yang paling berpengaruh di dunia sepanjang sejarah manusia.
Semangat itulah yang harus terus kita jaga hingga hari ini, terutama bagi para pemimpin muda. Terlebih, pada 2020 kita akan merasakan bonus demografi, di mana 70 persen warga Indonesia adalah mereka yang berusia produktif dan sebagian besar di antaranya generasi muda. Semangat muda Indonesia jangan sampai dihiasi generasi oportunis yang tak peduli akan nasib bangsa ini. Semangat muda itu harus dipenuhi nilai-nilai progresif yang beriktikad mewujudkan keadaban bangsa yang berkeadilan, berdaulat, dan berkemajuan.
Semangat itu ibarat pijar matahari muda, menandai kesiapan anakanak muda Muhammadiyah untuk memberikan cahaya di tengah gelap gulita bangsa. Karena masih belia, pijarnya mungkin tak begitu benderang; sesekali menyilaukan dan lain waktu agak redup. Namun, ikhtiar kaum muda ini untuk terus bergerak, berkiprah, dan memberi makna bisa menjadi sumbu harapan bagi masa depan bangsa yang mencerahkan. (*)
*)Tulisan ini telah terbit di Harian Jawa Pos, 31 Juli 2018, halaman 4. Ditulis Ali Muthohirin, Ketua umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) 2016–2018.