PWMU.CO-Dalam sejarah politik, dasar negara Pancasila sering dimanipulasi penguasa untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Rakyat yang berbeda pandangan tentang tafsir Pancasila versi pemerintah disudutkan dengan tuduhan makar.
Pandangan itu disampaikan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ali Muthohirin ketika dihubungi usai sambutan pembukaan Muktamar IMM di Dome UMM, Rabu (1/7/2018).
Muktamar yang dihadiri peserta utusan dari IMM se Indonesia itu berlangsung empat hari yang berakhir Sabtu (4/7/2018). Tahun ini mengusung tema Meneguhkan Pancasila sebagai Sukma Bangsa untuk Indonesia Sejahtera.
Ali Muthohirin mengatakan, Pancasila selama ini ditafsirkan menurut kepentingan penguasa. Akibatnya orang yang berbeda pandangan dicap sebagai anti Pancasila, anti pemerintah, makar, subversif. Begitulah yang terjadi sejak zaman Presiden Sukarno, Soeharto, dan rezim sekarang ini.
”Di zaman Bung Karno bahkan orang yang menentang Nasakom dituduh anti Pancasila padahal Nasakom itu justru bertentangan dengan Pancasila,” tandasnya. ”Di zaman rezim Soeharto juga sering pejabatnya menuduh orang yang mengkritik pemerintah sebagai penentang Pancasila,” tambah alumni Program Studi Syariah Fakultas Ilmu Agama Islam (FAI) UMM ini.
Sekarang di masa Presiden Jokowi, sambung dia, muncul jargon Saya Indonesia Saya Pancasila. Tapi tafsir Indonesia dan Pancasila menurut kepentingan kelompoknya. ”Orang yang tidak sepaham langsung dicap anti Pancasila, anti bhineka, intoleran,” tandasnya.
Akibatnya, kata dia, bukan harmoni antar rakyat yang terjadi malah pertikaian yang bersumber dari tafsir Pancasila. Dengan demikian, dalam praktik politik kekuasaan Pancasila telah gagal menjadi dasar pijakan keharmonisan rakyat.
Karena itu dalam forum muktamar IMM ini, dia menyarankan kembali kepada sejarah lahirnya Pancasila yang disepakati dalam sidang BPUPKI 1945. Bukan menurut tafsir penguasa yang berbeda-beda. ”Lima rumusan dalam Pancasila lahir sebagai kesepakatan antara semua kekuatan politik yang dominan yakni Islam dan nasionalis untuk meletakkan dasar negara,” kata dia menegaskan.
Dengan kompromi rumusan Pancasila itu, kata dia, semua kekuatan ideologi Islam dan nasionalis sudah selesai. Semua sudah tersalurkan aspirasinya. Islam dan nasionalis saling mewarnai dan memasuki ruh rumusan Pancasila, menyatu, sehingga tidak dipertentangkan lagi untuk mengatur negara. Saat itu Pancasila telah berfungsi sebagai pemersatu semua kekuatan politik.
”Dalam rumusan Pancasila itu aspirasi kelompok Islam dan nasionalis sudah terangkum sehingga sepakat sebagai dasar pijakan bernegara,” ujarnya. Bukan negara Islam tapi juga bukan negara sekuler.
Persatuan di antara perbedaan kepentingan itulah inti dari Pancasila yang harus menjadi sukma bangsa. ”Sukma adalah jiwa yang membangkitkan dan menggerakkan bangsa ini,” kata Ali. ”Penguasa harus memahami sejarah ini secara objektif. Bukan melihat dari sudut pandangnya sendiri. Siapa pun yang duduk di kursi kekuasaan harus paham dan menerapkan nilai-nilai Pancasila tanpa manipulasi untuk kepentingan politik,” ujarnya.
Dengan demikian bangsa yang bhineka ini, berbeda-beda ini, menjadi satu bangsa, kata dia. Semangat persatuan menghindarkan pertikaian. Semua elemen bangsa fokus kepada pembangunan. ”Lewat cara demikian insya Allah menciptakan kesejahteraan rakyat,” tandasnya. (Izzudin)