PWMU.CO – Mahkamah Agung Arab Saudi memutuskan Idul Adha 1439 H jatuh pada Selasa, 21 Agustus 2018. Keputusan diambil dalam sidang yang dipimpin Mahkamah Agung Arab Saudi Syekh Ghihab Bin Muhammad Al-Ghihab, (11/8). Hasilnya, 1 Dzulhijjah jatuh pada Ahad, 12 Agustus, sehingga Idul Adha jatuh pada Selasa, 21 Agustus.
Putusan Arab Saudi tentang Idul adha 1439 H/2018 M ini berbeda dengan putusan Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Muhammadiyah. Muhammadiyah berdasarkan metode hisab wujudl hilal haqiqi, sejak 9 Maret 2018 lalu telah memutuskan Idul Adha jatuh 22 Agustus. Begitupun Pemerintah RI pada 11 agustus lalu, memutuskan Idul Adha jatuh pada 22 Agustus, sama dengan Muhammadiyah.
“Perbedaan Idul Adha, termasuk Idul Fitri, antara wilayah Indonesia dan Arab saudi, memang sangat mungkin terjadi karena metode dan kriteria berbeda yang digunakan untuk menentukan awal bulan Qamariyah,” jelas Nadjib Hamid MSi kepada PWMU.CO, Senin (12/8). Perbedaan ini muncul, salah satunya karena pebedaan dalam memahami diksi “rukyah” dalam berbagai riwayat.
“Ada yang memahaminya secara harfiyah, melihat dengan mata telanjang. Tapi ada pula yang memahami arti rukyah adalah melihat dengan ilmu pengetahuan,” lanjut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu. Pemaknaan secara harfiyah melahirkan metode Rukyah, sementara pemaknaan substantif melahirkan metode Hisab.
Dalam pandangan Muhammadiyah, Idul Adha di Indonesia memang sangat berpeluang untuk berbeda dengan Arab Saudi. “Sebab, yang dijadikan pegangan saat ini masih mathla’ atau wilayah al-hukmi negara Indonesia,” jelas Nadjib Hamid.
Karena mathla’ ini pula setidaknya ada 4 argumen kenapa Idul Adha di Indonesia bisa berbeda dengan Arab Saudi. Pertama, tentang Puasa Arafah, Muhammadiyah memandang bahwa puasa ini dilakukan pada 9 Dzulhijjah, bukan karena adanya wukuf di Arah. “Dalam banyak hadits, Nabi Muhammad saw ternyata sudah menamakan puasa Arafah pada 9 Dzulhijjah ini, meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji,” jelas Nadjib.
Perlu diketahui bahwa Nabi saw hanya berhaji sekali. Yaitu Haji Wada’. Namun, Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa sunnah di hari Arafah meskipun tidak ada dan belum terlaksananya wukuf di padang Arafah oleh umat Islam pada saat itu. “Itu menujukkan bahwa penamaan puasa Arafah tidak karena adanya orang sedang berwukuf di Arafah, tapi puasa yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah,” tegas Nadjib.
“Kedua, jika Idul Adha harus sama dengan Arab Saudi, coba bayangkan bagaimana umat Islam beberapa abad lalu sebelum ditemukannya berbagai teknologi informasi,” tambah Nadjib tentang alasan kedua.
“Ketiga, jika memang harus menyesuaikan dengan waktu Arab Saudi, dalam kasus Puasa karena wukuf misalnya, bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di wilayah yang punya perbedaan waktu lebih cepat 6 jam dengan Makkah. Di wilayah itu sudah masuk pagi, sementara di Makkah masih malam.”
Keempat, kata Nadjib, jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama’ah haji tidak bisa wukuf di padang Arafah, bukankah tidak membatalkan adanya puasa Arafah? Dengan berbagai argumen itu, maka di situlah selalu ada potensi perbedaan perayaan Idul Adha (Fitri juga) antara Indonesia dan Arab Saudi.
Dengan demikian, jelas Nadjib, dengan masih banyaknya ragam metode dalam menentukan awal bulan Hijriyah, sudah pasti dalam waktu tertentu bisa bersamaan dengan wilayah lain. Tapi pada saat tertentu bisa juga terjadi perbedaan sebagaimana Idul adha 1439 H atau 2018 ini.
“Akhirnya, yang terpenting adalah bagaimana kita berlapang dada dalam menyikapi perbedaan ini karena memang cara memahami teks hadits tentang awal bulan ini memang cukup beragam,” pungkas Nadjib tentang pentingnya bertasamuh pada perbedaan dalam masalah furu’iyyah. (paradis)