PWMU.CO-Di Indonesia ada sebanyak 2,3 juta anak telantar di jalan dan 997.000 bayi ditinggal orangtuanya. Ini data dari Direktorat Anak Kementerian Sosial tahun 2016.
Hal itu dikatakan Tata Sudrajat, direktur Families First Signature Program Yayasan Sayangi Tunas Cilik usai tanda tangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Aula BAU UMM, Senin (13/8/2018).
“Sebanyak 2,3 juta anak telantar di jalan, 997.000 bayi juga telantar, dan 7.466 anak berhadapan dengan hukum (ABH) serta 6.300 anak memerlukan perlindungan khusus. Kesadaran hukum di Indonesia memang sudah ada tetapi kekerasan masih menjadi budaya,” ujar Tata Sudrajat memaparkan rincian data.
Yayasan Sayangi Tunas Cilik merupakan partner dari Save The Children Indonesia berkegiatan untuk menangani masalah anak-anak di negeri ini.
MoU ini dibuat agar FISIP UMM dan Yayasan Sayangi Tunas cilik dapat menyelenggarakan program-program penelitian sosial baik oleh dosen, mahasiswa, praktikum mahasiswa dalam pelayanan terhadap anak dan pengabdian masyarakat oleh tenaga pengajar.
Objek perjanjian adalah penelitian, praktikum, dan pengabdian masyarakat di Pusat Dukungan Anak dan Keluarga yang diselenggarakan oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik bekerja sama dengan Dinas Sosial Kabupaten Malang.
Rektor UMM Fauzan menyampaikan, kerja sama antara keduanya secara khusus menjadi langkah yang tepat untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa. Hal ini sehubungan dengan program UMM Pasti yang tengah digalakkan kampus putih untuk membekali calon lulusannya.
”UMM sendiri mempunyai program Pasti. Program itu bertujuan untuk menghadapi dinamika sosial yang pada hakikatnya menuntut adanya kejelasan dan kepastian pendidikan. Ini menjadi bekal karena orang yang hebat adalah orang yang membekali diri,” tambahnya.
Selanjutnya pegiat sosial mitra Yayasan Sayangi Tunas Cilik asal Australia Karen Flanagan menyemangati para mahasiswa FISIP UMM. Tidak hanya Program Studi Kejahteraan Sosial namun juga Hubungan Internasional (HI), Ilmu Pemerintahan (IP) dan Ilmu Komunikasi untuk terjun menjadi pekerja sosial.
Ia juga mengungkapkan fakta, di negaranya saat ini pekerja sosial sangat dibutuhan. Berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya dimana profesi ini memerlukan waktu 30 tahun untuk diakui dan diterima masyarakat. Bidang penanganan, sambung Karen, pekerja sosial di Indonesia dan Australia memiliki kosentrasi yang berbeda.
“Di Indonesia kebanyakan isu sosial tentang anak, di Australia lebih banyak soal narkoba, kesehatan mental, dan kekerasan terhadap lansia,” ujarnya. (Izzudin)