PWMU.CO – Perjalanan Joko Susilo meraih gelar doktor tidaklah mudah. Penuh dengan lika-liku. Bahkan, siapa sangka jika dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini hampir mrotol sekolah di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Termasuk menyelesaikan gelar sarjana pun harus ditempuh selama 9 tahun karena harus “nyambi” kerja.
Begitulah perjalanan Joko Susilo MSi. Yang pada Selasa, (14/8), resmi menyandang gelar Doktor dari Universitas Padjadjaran. Dia berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Seksualitas vis a vis Spiritualitas dalam Pesan Kontras Pornografi dan Religiusitas Karya Sastra (Semiotika Komunikasi Serat Centhini)” dengan nilai sangat memuaskan.
Berhasil merampungkan strata tiga, Joko Susilo tercatat sebagai satu-satunya doktor di dusun kelahirannya. Hal itu disampaikan Aminah Asminingtyas, istri dari Joko Susilo saat ditemui PWMU.CO usai ujian terbuka doktor di Universitas Padjadjaran Jatinangor Bandung, Selasa (14/8).
“Mas Joko kini menjadi satu-satunya doktor di Desa Lawu, tempat kelahiran Mas Joko,” kata Aas, panggilan akrabnya menyebut salah satu desa yang terletak di Kecamatan Nguter Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah itu.
Masih cerita Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Malang itu, perjalanan Joko meraih gelar doktor ini memang patut sangat disyukuri jika melihat masa kecilnya. “Alhamdulillah akhirnya gelar doktor bisa diraih Mas Joko. kalau lihat perjuangan hidupnya, sangat layak mendapatkan gelar itu,” ujar Aas dengan raut wajah yang bercampur antara senang dan sedih mengenang masa lalu suaminya.
Ibu lima anak itu menceritakan bahwa saat sekolah SMP dulu, Joko hampir saja tidak bisa lulus SMP karena tidak ada biaya untuk sekolah. “Tapi karena kegigihan ayahnya yang tukang kayu, dan ibunya yang penjual jamu gendong, akhirnya mas Joko bisa sekolah SMP walau tidak pakai sepatu karena tidak bisa membelinya,” cerita Aas.
“Selain kegigihan kedua orangtuanya, juga didukung oleh kepandaian mas Joko. sehingga dia selalu dapat hadiah karena selalu jadi juara,” sambung Aas.
Kalaupun sekarang Joko Susilo dikenal juga sebagai dalang, kata Aas, memang suaminya itu senang bermain wayang sejak kecil. Yang tentu saja kemampuannya dalam mendalang ini juga bukan karena belajar atau kursus di tempat tertentu. “Jadi Mas Joko itu belajar dalang, ya otodidak,” tutur Aas.
Selepas SMA, Joko diterima di salah satu Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Tapi bangku kuliah itu tidak dimasuki karena terkendala biaya. Akhirnya Joko merantau ke Bali. “Mas Joko bekerja tiga tahun di Bali setelah kumpul dana dia kuliah di Udayana mengambil Hukum Internasional.”
“Tapi karena keinginannya di ilmu komunikasi, Mas Joko pindah haluan dari Udayana. Pada pada semester 2, mas Joko dapat informasi dari UMM tentang penerimaan jurusan Ilmu Komunikasi. Maka, dia kemudian pindah ke UMM masuk jurusan Ilmu Komunikasi sesuai keinginannya. Saat itu angkatan pertama, tahun 1987,” jelas Aas.
Pria yang berusia 52 tahun itu menjalani kuliah S-I selama 9 tahun. Lamanya perkuliahan ini bukan karena Joko malas, tapi karena dia kuliah sambil bekerja untuk membiayai kuliah. “Mas Joko kuliah sambil bekerja, ya nyambi MC, nyambi dalang, dan apa saja yang dilakukan untuk membiayai kuliahnya.”
“Setelah lulus mas Joko ikut rekrutmen dosen UMM, kemudian dapat beasiswa S2 di Universitas Indonesia jurusan management komunikasi, kemudian dapat beasiswa S3 dari Universitas Padjadjaran ini. Alhamdulillah” ucap Aas.
Menurut Aas keberhasilan suaminya itu ditunjang juga karena keaktifannya dikegiatan mahasiswa. Joko merupakan mantan aktivis IMM dan sampai sekarang juga aktif di Muhammadiyah. “Mas Joko sangat aktif selama jadi mahasiswa mulai jadi pengurus Korkom IMM UMM sampai DPD IMM, dan sampai sekarang aktif di Muhammadiyah,” pungkas Aas. (uzlifah)