PWMU.CO – Didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 Miladiyah, bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah, Muhammadiyah kini telah memasuki usia 109 dalam hitungan hijriyah. Sebagai organisasi yang tertata secara rapi sejak awal, Persyarikatan telah menyelenggarakan 47 kali musyawarah tertinggi. Sepanjang sejarahnya, ada tiga istilah yang digunakan untuk acara ini: Rapat Tahunan, Kongres dan kemudian Muktamar.
Rapat Tahunan terselenggara mulai Rapat Tahunan ke-1 (1912) sampai Rapat Tahunan ke-14 (1925), yang seluruhnya diselenggarakan di Yogyakarta. Sejak era KH Ahmad Dahlan hingga pertengahan periode kepemimpinan KH Ibrahim. Sesuai dengan namanya “Rapat Tahunan”, acara permusyawaratan tertinggi di Persyarikatan ini diselenggarakan setiap tahun.
Istilah kongres digunakan sejak tahun 1926 bersamaan dengan Kongres ke-15, yang bertahan hingga Kongres ke-30 pada tahun 1941 di Purwokerto. Sama halnya dengan Rapat Tahunan yang diselenggarakan setiap tahun, Kongres ini pun juga punya periode yang sama. Dari 16 kali Kongres, dihasilkan 3 tokoh yang pernah memimpin Muhammadiyah. Yaitu KH Ibrahim, KH Hisyam, dan KH Mas Mansur.
Sementara istilah Muktamar mulai digunakan untuk menyebut permusyawaratan tertinggi tersebut mulai tahun 1950, tepatnya Muktamar ke-31 di Yogyakarta yang diselenggarakan pada 21-26 Desember 1950. Namun, istilah muktamar sendiri telah “dikenalkan” 6 tahun sebelumnya, yaitu pada 1944.
Karena kondisi Indonesia yang sedang berkonsentrasi merebut dan mempertahankan kemerdekaan, otomatis tidak memungkinkan menyelenggarakan acara nasional, diadakanlah “Muktamar Darurat”.
Artinya, selain istilah Rapat Tahunan-Kongres-Muktamar, Muhammadiyah juga pernah menyelenggarakan dua kali permusyawaratan serupa dengan nama berbeda, karena keamanan Indonesia yang kurang mendukung. Keduanya adalah “Muktamar Darurat” pada tahun 1944 dan “Silaturrahmi se-Jawa” pada tahun 1946, yang keduanya diselenggarakan di Yogyakarta.
Begitu pula rentang muktamar dilakukan dalam waktu berbeda-beda: pernah tahunan (1912-1941), tiga tahunan (1950-1978), serta lima tahunan (1985-sekarang). Adapun periode tahun 1941-1951 dan 1978-1985, memang tidak bisa dilaksanakan secara berkala karena kondisi keamanan, sosial, dan politik, yang kurang mendukung.
Dari 47 kali Muktamar, tercatat ada 15 kota yang pernah menjadi penyelenggara permusyawaratan akbar itu. Yogyakarta dengan 24 kali. Yaitu 1912 hingga 1925 (14 kali), kemudian 1925, 1928, 1931, 1934, 1937, 1940, 1950, 1956, 1968, 1990, dan terakhir pada Muktamar 1 Abad Muhammadiyah tahun 2010. Di urutan berikutnya ada dua kota yang masing-masing menyelenggarakan 3 kali Muktamar, yaitu Makassar (1932, 1971, dan 2015) dan Jakarta (1936, 1962, dan 2000).
Di urutan berikutnya ada 5 kota yang pernah 2 kali menjadi tuan rumah. Surabaya patut berbangga karena menjadi kota pertama di luar Yogyakarta yang menjadi tuang rumah. Tepatnya pada muktamar ke-15 (kongres ke-15) pada tahun 1926, setelah 14 kali sebelumnya selalu diselenggarakan di Yogyakarta. Surabaya kemudian kembali dipercaya sebagai tuan rumah muktamar ke-40 pada tahun 1978.
Selain Surabaya, juga ada kota Surakarta yang menyelenggarakan muktamar pada tahun 1929 dan 1985. Kemudian ada Padang/Minangkabau pada 1930 dan 1974, Malang (1938 dan 2005), serta Purwokerto (1941 dan 1953). Seiring dengan turunnya Surat Keputusan PP Muhammadiyah Nomor 218/Kep/1.0/B/2017, Surakarta akan segera “naik kelas” sebagai kota penyelenggara muktamar 3 kali. Melalui surat bertanggal 23 Dzulhijjah 1438 H/14 September 2017, Surakarta ditetapkan sebagai tempat penyelenggaraan Muktamar ke-48 tahun 2020.
Selain kedelapan kota itu, ada 7 kota lain yang pernah sekali menjadi tuan rumah muktamar. Yaitu Pekalongan (1927), Semarang (1933), Banjarmasin (1935), Medan (1939), Palembang (1959), Bandung (1965), dan Banda Aceh (1995).
***
Dari 47 kali perhelatan Muktamar yang diselenggarakan Muhammadiyah, 15 orang telah dipercaya duduk sebagai pucuk pimpinan organisasi. Sebutan untuk amanah yang mereka terima pun telah mengalami perubah hingga dua kali. Awalnya hanya memakai diksi “Ketua” untuk pucuk pimpinan sejak Muhammadiyah pertama kali didirikan hingga tahun 2005, didampingi “Sekretaris dan Wakil Sekretaris” dan para “Wakil Ketua”.
Barulah dalam muktamar ke-45 di Malang (2005), sebutan “Ketua” diganti “Ketua Umum”, “Sekretaris” juga dirubah menjadi “Sekretaris Umum dan Sekretaris” dan “Wakil Ketua” diganti dengan istilah “Ketua”.
Namun, istilah “Ketua Umum”, “Sekretaris Umum” dan “Bendahara Umum” ini hanya berlaku untuk PP Muhammadiyah. Adapun untuk Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM), Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM), hingga Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM), tetap menggunakan istilah “Ketua”. Jajaran lainnya adalah “Wakil Ketua”, “Sekretaris” dan atau “Wakil Sekretaris”, “Bendahara”, tanpa “Umum”.
Sama halnya dengan sebutan Pimpinan Pusat (PP), ia juga mengalami beberapa kali perubahan. Meski punya makna sama dengan Pengurus Besar, Muhammadiyah lebih banyak menggunakan idiom Hoofdbestuur/HB sejak berdiri hingga awal kemerdekaan. HB digunakan Muhammadiyah sejak tahun 1912 hingga 1950.
Hanya dalam Kongres ke-27 di Malang pada 21-26 Juli 1938, HB diganti dengan Pengurus Besar (PB). PB lantas digunakan dalam Muktamar ke-31 (1950), tapi di muktamar berikutnya yang ke-32 (1953) diganti dengan Pimpinan Pusat (PP). Istilah PP inilah yang kemudian bertahan hingga sekarang.
Di antara para tokoh yang diamanati sebagai Ketua Umum, ada di antaranya yang menyelesaikan tugasnya hingga periode kepemimpinannya habis, tapi ada pula yang mengakhirinya di tengah jalan karena alasan syar’i. Tiga ketua (Umum) yang mengakhiri tugas sebelum periode kepemimpinan berakhir adalah KH Faqih Usman, KH Azhar Basyir MA, dan Prof HM. Amien Rais. Faqih Usman wafat beberapa hari usai dipercaya sebagai Ketua (Umum) pada 1968, dan dilanjutkan KH AR. Fakhruddin.
Dalam muktamar ke-42 pada 1990 di Yogyakarta, KH Azhar Basyir MA dipercaya sebagai Ketua (Umum) PP periode 1990-1995. Namun dia wafat pada 1994, dan dilanjutkan M. Amien Rais. Adapun Amien Rais yang terpilih dalam Muktamar ke-43 di Banda Aceh untuk periode 1995-2000 mengundurkan diri pada tahun 1998 karena diamanahi untuk mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Kepemimpinannya dilanjutkan Prof H A. Syafii Ma’arif.
Secara singkat, para tokoh yang pernah diamanahi menjadi Ketua (Umum) Muhammadiyah secara berurutan adalah KH. Ahmad Dahlan (1912-1923), KH. Ibrahim (1923-1934), KH. Hisyam (1934-1937), KH. Mas Mansur (1937-1942), Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953), KH. AR Sutan Mansur (1953-1959).
Selanjutnya ada nama KH. M. Yunus Anis (1959-1962), KH. Ahmad Badawi (1962-1968), KH. Faqih Usman (1968). Setelah itu disusul oleh KH. AR. Fakhruddin (1968-1990), KH. Drs. Azhar Basyir, MA (1990-1994), Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA (1994-1998), Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Ma’arif, MA (1998-2005), Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin, MA (2005-2015), dan Dr Haedar Nashir (2015-sekarang).
Itulah kekayaan khazanah istilah struktural yang lahir dari rahim organisasi Muhammadiyah. Istimewa, bukan? (paradis & arkoun)