PWMU.CO – Kisah tentang tukang becak yang setiap tahun berkurban disampaikan Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Ustadz Nur Cholis Huda MSi saat menjadi khatib shalat Idul Adha 1439 H di halaman SMP Muhammadiyah 12 GKB Gresik, Rabu (22/8/18)
Dalam khutbahnya, Ustadz Nur—sapaan akrabnya—menerangkan dua hikmah Idul Adha. “Pertama, penyembelihan hewan kurban adalah simbol menyembelih nafsu hewani kita, nafsu kebinatangan kita. Manusia adalah hayawanun nathiq, jenis binatang yang mempunyai akal,” urainya.
Dia menjelaskan, pembeda manusia dengan binatang ada tiga. Manusia bisa berfikir, manusia punya rasa malu, dan manusia bisa tersenyum. Sedangkan binatang tidak bisa. “Orang yang tidak bisa berfikir, tidak punya rasa malu, dan tidak bisa tersenyum maka derajat kemanusiaannya akan turun,” ungkapnya.
Hikmah Idul Adha yang kedua, lanjut Ustadz Nur, adalah pelajaran kesungguhan Ibrahim dalam ketaatan kepada Allah. “Tentu cerita tentang Ibrahim sudah banyak kita ketahui bersama. Ada suatu kisah menarik tentang pelajaran kesungguhan ini,” tutur dia.
Penulis kolom majalah Matan itu pun berkisah tentang seorang tukang becak di Yogyakarta yang setiap waktu shalat selalu memarkir becaknya di depan sebuah masjid.
“Tukang becak tersebut selalu ikut shalat berjamaah di masjid itu. Kemudian ada seorang peneliti yang penasaran dan bertanya kepada takmir tentang tukang becak tersebut,” kisah dia.
Ustadz Nur melanjutkan, “Takmir membenarkan bahwa tukang becak itu selalu ikut shalat berjamaah. Takmir pun bercerita bahwa jam besar yang mahal di dalam masjid, tukang becak itu pula yang membelikannya.”
Bahkan, lanjutnya, setiap tiba Idul Adha, tukang becak tersebut selalu datang ke masjid. “Bukan untuk meminta daging kurban, tetapi datang dengan membawa kambing besar untuk berkurban,” cerita dia.
“Maka sang peneliti bertambah penasaran. Lalu ditanyakanlah kepada si tukang becak alasan mengapa selalu shalat berjamaah setiap waktu, membelikan jam besar yang mahal, dan selalu berkurban setiap tahun, padahal pekerjaannya hanyalah tukang becak,” paparnya.
Si tukang becak itu, sambungnya, lalu menjawab dengan mengutip sebuah surat pendek dalam Alquran, Inna a’taina kal kautsar. Fashalli lirabbika wanhar.
“Menurut pemahamannya, Allah telah memberinya banyak sekali sehingga dia merasa malu jika tidak bisa melaksanakan shalat dan berkurban. Maka dia bersungguh-sungguh melaksanakan shalat dengan berjamaah,” urai penulis buku Hidup Itu Permainan tapi Bukan Main-Main ini.
Dia menceritakan, tukang becak itu membelikan jam yang besar dan mahal agar muadzin punya patokan jam yang tepat, tidak seperti jam-jam pada umumnya yang satu dengan lainnya berbeda waktunya.
“Sedangkan untuk bisa berkurban dia menyisihkan lima hingga sepuluh ribu rupiah setiap hari, sehingga setiap waktu Idul Adha tiba, uangnya sudah terkumpul sehingga bisa untuk berkurban,” jelasnya.
Menurut dia, itulah bukti kesungguhan sang tukang becak dalam ketaatannya kepada Allah. “Lalu di manakah bukti kesungguhan kita untuk taat kepada Allah. Semoga menjadi renungan kita bersama,” tutur Ustadz Nur. (Kemas S. Rizal)