PWMU.CO – Sehari sebelum memeringati hari kelahirannya, hari ini, 28 Agustus 2018, media sosial diterjang oleh Seto Mulyadi. Si Seto di situ mencerca habis-habisan Neno Warisman, pegiat #2019GantiPresiden.
Berbondong-bondong orang-orang meminta klarifikasi mengenai benar tidaknya posting Seto Mulyadi di akun Facebook-nya itu.
Seto Mulyadi di media sosial bikin ricuh, sementara Seto Mulyadi di Paris justru acuh tak acuh. Seto yang pertama adalah penggila hoax, Seto yang kedua adalah pecinta anak.
Saya tidak kaget oleh hoax dari Seto Mulyadi gadungan itu. Justru yang membuat saya gumun; kok ya ada sekian banyak warga net (netizen) yang masih bertanya-tanya apakah Seto yang pertama adalah Seto yang kedua.
Padahal, sepertinya tidak hanya saya, siapa pun dengan amat-sangat gampang bisa memastikan bahwa Seto yang kedua tidak mungkin berubah tabiat menjadi Seto yang pertama.
Kenapa tidak mungkin? Selama iblis belum mencabut sumpahnya untuk menghasut anak cucu Adam, bukankah dia juga bisa saja membolak-balik hati Seto Mulyadi?
Begini penjelasannya ….
Berbulan silam, di meja besar di kantor kecil LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia), saya pernah bertanya ke Kak Seto, “Apa yang belum dicapai, Kak?”
“Sudah semua,” jawabnya. Lanjutnya, “Itu sebabnya saya siap kalau harus mati sekarang.”
Tahu bahwa Kak Seto adalah pengagum Bung Karno, saya bertanya lagi, “Lalu, mau dikubur di mana? Di batu nisannya mau ditulisi apa?”
Orang yang saya tanya nyengir saja. Padahal saya serius.
Merasa sudah meraih semua. Begitu kata Kak Seto. Kalau ditafsirkan dengan memakai teori Erik Erikson, Kak Seto ini sudah masuk ke fase dewasa akhir. Pada fase itu, agenda perkembangannya cuma satu: integritas—memertahankan kedirian yang sudah terbangun selama berpuluh-puluh tahun.
Kalau jatidiri itu gagal terbentuk, si dewasa akhir akan mengalami keputus-asaan alias despair. Putus asa, karena jam pasir sudah terlalu sedikit untuk agenda koreksi diri besar-besaran.
Merasa sudah memiliki semua. Dan tidak terlihat ada gelagat keputus-asaan. Alhasil, akal sehat mengatakan, apa kepentingannya bagi Kak Seto untuk tiba-tiba membuat posting politik rendahan dengan bahasa murahan di media ‘kacangan’?
Ringkasnya, Seto Mulyadi pertama–si juru hoax–adalah anak ingusan yang gagal total menyaru sebagai Seto Mulyadi kedua–si guru anak-anak. Seto pertama–entah siapa–cuma genit berkoar-koar, sedangkan Seto kedua adalah sosok ketenangan yang membungkus ghirah yang berkobar-kobar.
Lain kisah. Kak Seto dekat dengan semua penguasa. Semasa Pak Harto berkuasa, Kak Seto difasilitasi untuk merealisasikan sekian banyak legacy. Ada Istana Anak-anak yang megah di Taman Mini Indonesia Indah. Ada perhelatan tahunan Hari Anak Nasional. Dan lain-lain. Bersih politik.
Semasa Bu Mega menjadi RI-1, Kak Seto ditanyai ketertarikannya untuk terjun ke partai politik. Kak Seto menolak. Pasti seraya tersenyum. Lagi, bersih politik.
Di era Pak SBY, kursi salah satu menteri disodorkan ke Kak Seto. Ditolak lagi. Semakin nyata, bersih politik.
Masuk ke rezim Jokowi, entah sudah berapa kali Kak Seto hilir mudik ke Istana Negara. Tapi tetap sama sekali tidak bawa-bawa politik. Yang si Poni sampaikan sebatas kerisauannya tentang bahaya LGBT, ajakan untuk bermain, serta imbauan agar teratur minum obat cacing.
Bahwa ada spekulasi konon Kak Seto adalah orangnya Jokowi, atas nama azas independensi saya tidak bisa konfirmasi di sini. Yang penasaran, silakan kontak saya via japri. Hehehe….
Karena menolak tawaran politik berulang kali, pertanyaan saya ajukan lagi, “Kenapa?”
Jelas Kak Seto, “Dengan begini saja saya sudah bisa ke sana-sini, ke pelosok kampung, ke luar negeri.” Sesederhana itu.
Alhasil, semakin musykil Kak Seto—tak ada angin, tak ada hujan—nongol di media sosial membawa pemikiran semrawut dan butek dengan melempar cercaan ala politikus tak berpendidikan terhadap salah satu temannya.
Mencari musuh, apalagi “menang ngasorake“, tidak ada dalam DNA Kak Seto. Bahkan terhadap orang yang “loyang bukan mutiara” pun, kegusaran Kak Seto tetap ia sampaikan dengan tutur kata yang terukur dan santun.
Juli 2018
Beberapa foto sampai di WA saya. Kiriman Kak Seto dari Jepang. Lazimnya, foto-foto Kak Seto adalah pose ia diapit anak-anak atau pun dijepit ibu-ibu. Tempo-tempo ada foto Kak Seto dipepet sopir-sopir ojek online.
Tapi kali itu yang saya pandangi adalah potret Kak Seto bersama keluarganya. Bagus, tapi–sejujurnya–tak sangat istimewa. Yang bikin saya terpesona adalah sebaris kalimat yang menyertai foto itu: “Setelah sekian lama bersama anak-anak Indonesia, sekarang saya bisa bersama anak, isteri, dan cucu saya sendiri.”
Itu bukan hoax. Itu Seto Mulyadi yang otentik. Seto Mulyadi yang orisinal.
Mari kita baca ulang: “Sudah [mencapai] semua” dan “Sekarang bersama [keluarga] sendiri.” Itu perkataan Kak Seto. Bukan kata-kata saya.
Tidak cukup bagi kita untuk hanya menyimak. Penting bagi kita untuk tepekur, secara arif memberikan kesempatan kepada orang ini untuk rehat. Bukan rehat dalam pengertian berhenti menjadi kakaknya anak-anak se-Nusantara.
Itu tidak mungkin. Melainkan rehat untuk memberikan kesempatan kepada siapa pun di negeri ini untuk seserius dia, selurus dia, setulus dia, sepersisten dia, mencintai anak-anak Indonesia. (*)
Ditulis sambil bergelantungan di commuter line Buitenzorg – Batavia.
Kolom oleh Reza Indragiri Amriel, Kepala Bidang Pemenuhan Hak Anak, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).