PWMU.CO – Berkali-kali jatuh, ia pun bangun. Ia tak kapok menekuni dunia bisnis. Lima kali usahanya terbakar tak menggoyahkan semangatnya. Justru ia terlecut untuk bangkit. Dan kini, ia bisa menikmati keberhasilannya itu. Bukan hanya keberhasilan dalam bisnis semata, sebab dari bisnis itu pula ia berhasil mengembangkan dakwah Islam melalui Persyarikatan Muhammadiyah di Bumi Cendrawasih.
Saudagar itu adalah Juma’ Aziz. Seorang pengusaha Timika asal Desa Kebalanpelang, Kecamatan Sekaran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Satu dari ratusan pengusaha peserta Temu Jaringan Saudagar Muhammadiyah, yang berlangsung di Yogyakarta (14/5).
Seperti kebanyakan orang Lamongan, kesuksesan pria kelahiran 11 Januari 1968 ini justru karena ia pergi merantau meninggalkan kampung halamannya. Sejak lulus Madrasah Aliyah Negeri Babat, Lamongan, tahun 1987, Juma’ pergi mengadu nasib ke Aceh.
Ia tak melanjutkan kuliah seperti teman-temannya. “Kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah saya,” tuturnya. Ia bawa dagangan dari Tanah Jawa menuju Tanah Rencong, Aceh. “Di Aceh, saya jualan mainan anak-anak yang lagi trend di Jawa. Seperti mainan bongkar pasang, tembak-tembak dari plastik dan sejenisnya,” jelasnya.
Hasil merantau selama di Aceh bisa ia pakai membantu orang tua. “Alhamdulillah, saya juga bisa menyekolahkan dua adik saya sampai lulus S1,” katanya. Tahun 1992 Jumak pulang ke Tanah Jawa. Kesempatan itu ia pergunakan untuk menikahi gadis pujaannya: Ida Herliana, gadis satu kampung. Kelak, gadis inilah memberinya dua anak buah hati: Aulia Abidsyah dan Khoirunnisa Al Athikho.
(Baca juga: Petuah JK ke Saudagar Muhammadiyah, Niat Dagang Kok Takut Rugi)
Setelah menikah, Juma’ kembali ke Aceh sampai tahun 1995. Selepas itu ia berpindah-pindah rantau. Pernah ke Kalimantan dan Makassar. Kemudian kembali ke Jawa. Berjualan di Tuban, Gresik, dan Lamongan. Pada tahun 2000 Juma’ kembali merantau jauh. Kali ini ke ujung Timur Indonesia. Juma’ pergi ke Kota Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. “Saya bawa jam tangan imitasi. Di Jawa, jam tangan yang berharga Rp 15 ribu bisa saya jual di Timika dengan harga Rp 200 ribu,” tuturnya.
Merasa ada tanda-tanda kesuksesan, 3 bulan setelah di Timika, Juma’ pulang menjemput istri. Bersama istri tercinta, Juma’ tidak hanya jualan jam imitasi, ia juga buka warung nasi dan berdagang sembako. Tapi suratan takdir membuatnya jatuh. Usahanya yang mulai menampakkan hasil, terbakar. Habis. Juma’ kembali ke titik nol. Peristiwa ini terjadi tahun 2003.
Juma’ akhirnya meninggalkan Timika. Ia mencoba masuk pedalaman ke Puncak Jaya. “Saya di sana menyewakan sepeda motor untuk ojek,” tuturnya. Juma’ memang tidak pernah pusing, meski usahanya terbakar. Ia merasa mudah mencari uang di Tanah Papua. “Ongkos sewa sepeda motor Rp 100 per jam,” jelasnya.
Usaha ini berkembang sampai akhirnya ia memiliki 6 sepeda motor untuk disewakan. Sulitnya jalur transportasi di Puncak Jaya membuat usaha persewaan motornya cukup menjanjikan. “Saya waktu itu bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp 5 juta sehari,” kenangnya. Baca sambungan hal 2 …