PWMU.CO – Seluruh rakyat Indonesia bangga atas suksesnya penyelenggaraan Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. Itulah kepercayaan kali kedua yang diberikan bangsa-bangsa di Asia untuk Indonesia, setelah menjadi tuan rumah Asian Games tahun 1962.
Prestasi atlet-atlet pun demikian membanggakan. Indonesia menduduki peringkat ke-4 klasemen perolehan medali: 31 emas, 28 perak, dan 40 perunggu.
Pencapaian yang jauh di atas target pemerintah untuk sekedar bisa masuk 10 besar. Muhammadiyah pun ikut bangga dengan prestasi sebagian atlet Indonesia yang “dibina” oleh Pesyarikatan, baik secara langsung atau tidak.
Atlet-atlet peraih emas pencak silat dari perguruan Tapak Suci Putera Muhamamdiyah dan atlet panjat tebing mahasiswa Universitas Muhammadiyah Semarang sebagai bukti peran Persyarikatan dalam ikut serta memajukan olahraga nasional.
Tapi pencapaian peringkat ke-4 tersebut pda “hakikatnya” menunjukkan penurunan daya saing pembinaan atlet Indonesia dibandingkan Asian Games 1962. Dalam situasi “sulit”—baru 13 tahun Merdeka—Indonesia mampu menempati peringkat ke-2 Adengan perolehan 11 medali emas.
Artinya perolehan 31 medali emas yang tampak banyak itu ternyata kalah jauh dengan tiga negara lainnya: Cina (132, 92, 65), Jepang (74, 56, 74), dan Korea Selatan (49, 57, 70).
Tanpa mengurangi rasa hormat pada seluruh atlet Indonesia yang telah bermandi keringat demi kejayaan Merah Putih di arena olahraga terbesar di Asia itu, perhatian pemerintah untuk kemajuan olahraga di Indonesia patut dipertanyakan.
Pemerintah telah membelanjakan Rp 68 triliun untuk membangun infrastruktur. Adapun biaya penyelenggaraan diperkirakan telah dibelanjakan sebesar Rp 6 triliun. Belanja investasi dan operasional Asian Games 2018 diperkirakan mampu memberikan dampak ekonomi kepada Indonesia sebesar Rp 45,2 triliun.
Sejauh mana angka-angka tersebut terbukti masih menunggu laporan keuangan panitia Asian Games atau Indonesia Asian Games Organizing Committee (Inasgoc) dan audit dari instansi terkait.
Namun demikian pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK-RI) pada Laporan Keuangan belanja barang Inasgoc 2017 mendapati ketidaksesuaian antara anggaran-realisasi senilai Rp 712.168.940.654 (Alek K.Kurniawan Jawa Pos, 1-9-18).
Masyarakat hanya berharap nilai tersebut sebagai “temuan pada periode yang sedang berjalan” dan bisa dipertanggungjawabkan pada tutup buku laporan keuangan Inasgoc kepada pemerintah.
Kembali menyorot prestasi olahraga yang cenderung merosot, kondisi ekonomi suatu negara tampaknya memegang peran penting. Mengingat tiga besar negara peraih medali terbanyak Asian Games 2018 termasuk kategori negara yang maju ekonominya.
Tapi lagi-lagi faktor ekonomi tidak bisa dijadikan alasan, mengingat negara-negara Arab yang ekonominya di atas Indonesia peringkatnya pada Asian Games 2018 di bawah Indonesia.
Motivasi dan orientasi olahraga seluruh unsur masyarakat perlu dibangun lebih baik di Indonesia. Masyarakat yang dimaksud meliputi pelajar, pendidik, pengusaha, pemerintah, dan pendakwah.
Olahraga sebagai ‘wasilah’ dakwah bukan hal asing di Persyarikatan Muhammadiyah. Suara Muhammadiyah edisi Agustus 2018 telah mengulas dakwah Muhammadiyah menggunakan sarana olahraga. Lembaga, Seni, Budaya, dan Olahraga (LSBO), Sekolah Sepakbola Hizbul Wathan dan Tapak Suci Putera Muhamamdiyah merupakan bukti peran serta Persyarikatan memajukan olahraga.
Muhammadiyah telah memberi bukti bahwa membina olahraga harus lahir dan hadir dari jiwa yang ikhlas. Dengan keikhlasan khas agen dakwah, seluruh urusan duniawi sekalipun bisa menjadi sarana ibadah dan prestasi.
Memutar kembali isu-isu politik tentang perlunya pejabat publik boleh merangkap sebagai Ketua KONI, pusat atau daerah, adalah bentuk kemunduran, bukan berkemajuan. Di mana semangat melarang pejabat publik menjadi Ketua KONI adalah demi menghindari konflik kepentingan. Pembinaan olahraga tanpa APBD diharapkan akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat sekaligus menghindari penyalahgunaan anggaran.
Tidak ada yang tidak mungkin dan tidak bisa. Muhammadiyah mampu membina olahraga tanpa berharap banyak pada anggaran negara. Dengan pembinaan penuh cinta dan ikhlas bi idznillah )(dengan izin Allah) olahraga Indonesia bisa lebih meningkatkan daya saingnya di Asia. Paling minimal bisa kembali menempati peringkat ke-2 seperti Asian Games tahun 1962.
Catatan lainnya, sejak krisis politik dan ekonomi 1999 Indonesia tidak pernah lagi juara umum Sea Games—pesta olahraga Asia Tenggara. Indonesia adalah “jawara” Sea Games 1977-1997, sebagai tuan rumah atau tidak. Dan jawara 2007 saat menjadi tuan rumah.
Berharap Muhammadiyah “mengajari” pemerintah dalam melakukan pembinaan olahraga dengan penuh cinta, ikhlas, dan amanah demi prestasi olahraga Indonesia lebih baik. Wallahualambishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Penulis buku Nabung Saham Syariahdan Auditor di Kantor Akuntan Publik Erfan & Rakhmawan Surabaya.
Discussion about this post