Kiai Sudrun mendirikan langgar. Semacam masjid kecil. Apa bukan mushala namanya?
Tampaknya sama saja. Itulah repotnya ”bahasa” dan ”budaya”.
Makna religiusnya memang sama saja. Masjid itu tempat bersujud. Mushalla itu tempat shalat. Orang shalat kan, ya, pakai sujud, dan orang sujud lumrahnya ya ketika shalat. Cuma dalam tradisi budaya masyarakat tertentu ada konvensi bahwa mushala itu bangunannya lebih kecil dibanding masjid. Atau, bisa juga tidak merupakan bangunan tersendiri, misalnya berupa satu ruangan di suatu gedung atau rumah.
Mushala tidak dipakai untuk shalat Jumat, beda dengan masjid. Padahal, shalat Jumat bisa juga di ruangan biasa yang secara resmi bukan mushala atau masjid. Bahkan, bisa juga di lapangan atau mana saja asal memenuhi syarat. Di mana pun engkau shalat, tempat itu menjadi mushala. Di mana pun engkau bersujud, tempat itu menjadi masjid.
Akan tetapi, Kiai Sudrun menyebut tempat yang didirikannya itu langgar. ”Ini bisa juga digunakan sebagai sanggar,” katanya. Dan, tampaknya ada gagasan dan sikap tertentu di balik sebutan itu. Sebab, biasanya orang mendirikan masjid dengan menamakannya Al Amien, Al Barakah, Al Hikmah, dan lain sebagainya. Namun, Kiai Sudrun tidak memakai ”Al” sama sekali. Ia menamakan langgarnya dengan Langgar Sumeleh.
Sebelumnya, hendaknya kita ketahui bahwa bangunan langgar Kiai Sudrun ini sama sekali tidak mencerminkan suasana abad 21. Langgar itu tanpa batu-bata: bangunan panggung yang bertiang kayu dan berdindingkan bambu.
Untunglah letaknya jauh di pojok kebun belakang rumah. Ceritanya dulu memang kiai kita ini ngenger pekerjaan kepada Pak Kartohiler, pemilik huller yang tergolong kaya raya di seantero kampung.
Dia bersedia mengerjakan segala jenis pekerjaan yang halal, dari yang paling halus sampai yang paling kasar. Kiai Sudrun tidak meminta bayaran apa pun, kecuali mohon diperkenankan mendirikan langgar. Untuk apa? Itulah permasalahannya.
Kita akan amati perlahan-lahan. Namun, pertama-tama yang barangkali menarik untuk kita perbincangkan adalah pilihannya atas nama Langgar Sumeleh itu. Tentu Kiai Sudrun bukan satu-satunya yang punya gaya demikian. Namun, memang tidak umum.
Menjadi orang Islam dan membangun budaya kaum Muslim terkadang memang dilematis. Kalau kita tidak memakai ciri, identitas, pakaian, atau pola ekspresi yang Islam atau sekurang-kurang yang kita sepakati sebagai tanda Islam, nanti kita akan hilang di tengah konstelasi masyarakat luas, di mana setiap kelompok sosial memang memperlombakan ciri-cirinya masing-masing.
Namun sebaliknya, kalau kita memakainya, kita terancam untuk menjadi eksklusif, lantas dimarah-marahi oleh orang-orang pandai dan dikata-katain sebagai kelompok muslim primordial yang terkurung dalam formalisme keagamaan.
Padahal, kebutuhan untuk dua keperluan itu sama besarnya. Kita butuh menunjukkan bahwa umat Islam ini punya eksistensi dan punya identitas khas. Dalam kehidupan sehari-hari dalam kesenian, dalam berpolitik, dan dalam menjalani kebudayaan secara menyeluruh, kita membutuhkan appearance yang menunjukkan bahwa kita ini ada, kita unik, dan karena itu berbeda dengan yang bukan kita.
Pemusik kita tidak pasti menjadi modern kalau memakai S-50 dan tidak menjadi kolot kalau memakai mandolin dan rebana. Sebab, permasalahan modern dan tidak dalam musik bukan terletak pada instrumennya, melainkan pada jenis dan sikap kreatifnya.
Sastrawan kita jangan dilarang menggunakan kata astagfirullah hanya supaya mereka dianggap tidak primordial. Ilmuwan kita jangan berbangga hanya kalau memakai istilah-istilah keilmuwan Barat, karena toh kita bisa memakai kata kaifiyah untuk mengganti metode, tajribah untuk eksperimen, atau illat untuk konteks, umpamanya.
Partai politik juga tidak harus pragmatik-profesional: boleh saja tetap menciptakan lingkaran komitmen kebangsaan melalui latar belakang religio-ideologis.
Kita memerlukan itu semua karena kita butuh manifestasi konkret dari gagasan-gagasan kualitatif. Kita butuh bios dari kesadaran-kesadaran hakikat. Kita butuh ”penjasmanian rohani”. Hanya dengan itu kita menjadi ada secara realistis, menjadi memiliki kepercayaan diri di tengah komunitas-komunitas lain yang juga membangun ”pengejawantahan” ide dan kepercayaan dirinya.
Maka, kita tidak bersedia mengganti assalamualaikum menjadi selamat pagi dan selamat sore, justru karena alasan kultural semacam itu. Kita tidak bisa mencopot apa yang disebut atribut-atribut formal itu hanya untuk menyembah mitos yang bernama ”Islam universal”. Sebab, toh selamat pagi, good morning, gitar, S-50, jas, supermarket tak lain adalah idiom dari suatu lingkar primordialisme yang tersendiri juga.
Akan tetapi sebaliknya, kalau kita bertahan kaku seperti itu, ada sejumlah kemungkinan interaksi psikokultural yang tertutup. Kalau tablig atau penyampaian tauhid dan nilai Islam lain kita ungkapkan secara formalistik, kita umum-umumkan sebagai dakwah Islam atau proses islamisasi atau pengajian akbar, secara psikologis itu bertentangan dengan strategi sosial suatu dakwah.
Apakah ada orang non-Islam yang agak sinting sehingga sangat tertarik mendatangi acara Islam formal seperti itu? Dakwah formal semacam itu hanya efektif untuk kalangan Islam sendiri. Pada sisi lain, kita juga bisa perlahan-lahan terjebak untuk beranggapan bahwa sesuatu yang secara formal tidak menampakkan keislaman, pasti bukan Islam.
Keterjebakan ini akan membuat kita menjadi kerdil: pesawat terbang, komputer, atau barang-barang dan produk budaya yang tidak berasal dari kreativitas kebudayaan kaum Muslim, kita sangka sebagai sesuatu yang di luar Islam.
Akibatnya, kita akan bergelimang egosentrisme. Gampang mengafirkan orang lain. Mudah menyalahkan pihak lain. Akibat yang lebih parah adalah bahwa kita akan terisolasi atau bahkan sengaja mengisolasikan diri kita dari peta dunia, suatu medan di mana seharusnya kita tampil untuk berperang.
Jadi, kenapa Kiai Sudrun malah menyebut mushalanya dengan langgar dan tidak menamakannya As-Salam melainkan Sumeleh? Jangan-jangan kalau shalat dia memakai bahasa Jawa pula..!
Sumber: www.caknun.com. Judul asli: Langgar Sumeleh