PWMU.CO – Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis Neraca Perdagangan Agustus 2018 dengan defisit 1,02 miliar US Dollar. Nilai tersebut setara dengan Rp 15,096 triliun dengan kurs Rp 14.800 per US Dollar.
Sementara itu Kementerian Keuangan melaporkan Neraca APBN defisit Rp 150 triliun. Sedangkan Bank Indonesia melaporkan utang luar negeri RI sebesar Rp 5,191 triliun.
Data-data tersebut terus bergerak, bisa kurang atau lebih. Tetapi tak akan jauh dari angka tersebut.
Lantas, apa makna di balik angka-angka tersebut? Negara tidak ubahnya sebuah perusahaan atau korporasi raksasa yang juga berbisnis atau berdagang.
Indikator-indikator keuangan bisa menjadi catatan kinerja penyelenggara negara. Presiden tidak ubahnya seorang chief executive officer (CEO) dibantu para officer lain: general manager sampai manager dan staf pada posisi wakil presiden, menteri, dirjen sampai gubernur, bupati, walikota, camat, dan kepala desa.
Seluruh perangkat penyelenggara selayaknya kompak dan bersatu-padu mendukung visi, misi dagang atau ekonomi negara. Defisit neraca perdagangan menunjukkan pembelian/impor lebih besar dari pada penjualan/ekspor. Sedangkan defisit APBN menggambarkan pengeluaran negara lebih besar dari pada pemasukan negara.
Pengeluaran negara antara lain pembayaran pokok dan bunga utang, operasional birokrasi, subsidi-subsidi, jaminan sosial dan lain-lain. Sedangkan pemasukan negara berasal dari pajak perusahaan, pajak perorangan, cukai, royalti tambang, dividen BUMN dan lain-lain.
Melihat angka-angka yang memprihatinkan itu, seluruh elemen bangsa wajib berdoa demi perbaikan neraca keuangan tersebut. Sebab, baik buruknya neraca keuangan negara tidak hanya berdampak pada pemerintah tetapi juga berdampak pada masyarakat.
Apabila defisit terus berkepanjangan dapat berakibat pada inflasi, kenaikan harga-harga biasanya berlanjut pada krisis sosial politik. Cukup sudah peristiwa chaos politik 1966 dan 1998 menjadi ibrah dalam proses suksesi kepemimpinan nasional.
Tahun 1966 inflasi mencapai 600 persen, sedangkan 1998 krisis moneter menghempaskan nilai Rupiah dari Rp 2.500-an menjadi Rp 17.000-an per US Dollar.
Seiring memasuki pesta demokrasi tahun 2019, tidak selayaknya isu ekonomi berupa defisit neraca keuangan dijadikan gosip untuk memanaskan suasana. Neraca keuangan baik neraca APBN maupun neraca transaksi berjalan/neraca perdagangan sebagai bahan presentasi, bukan bahan debat.
Sebagaimana sebuah korporasi raksasa yang berstatus Tbk (terbuka), masyarakat berhak mengajukan usulan sebagai pemilik suara atau saham dalam korporasi bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Adapun pemilu legislatif dan eksekutif 2019 bisa sebagai ajang pemungutan suara sebagaimana rapat umum pemegang saham (RUPS). Suara masyarakat menentukan siapa yang pantas menjadi CEO dan duduk pada jajaran direksi serta wakil pemegang saham yang duduk di jajaran dewan komisaris.
Semoga Pemilu 2019 bisa menjadi agenda pemungutan suara ‘RUPS’ NKRI yang aman dan damai. Mereka yang terpilih sebagai presiden betul-betul mewakili suara pemegang saham yang paham arah korporasi NKRI.
Yang gagal terpilih pun bukan berarti buruk atau jelek. Tetapi lebih pada kesesuaian nakhoda bahtera dengan arah dan tantangan yang hendak dituju. Perlu dipahamkan bahwa situasi ekonomi global sedang terkena dampak “Perang Dunia”.
Ketika Amerika Serikat berkeinginan membangun kemandirian ekonomi negerinya dari ketergantungan impor khususnya dari Cina, Korea, dan Turki, entah mengapa Indonesia ikut-ikutan “meriang” padahal tidak masuk “target” pengenaan tarif impor tinggi dari Amerika.
Kondisi ini semoga dapat segera teratasi tanpa menimbulkan kegaduhan dan kepanikan penyelenggara negara sehingga salah mengambil langkah seperti tahun 1998.
Dua puluh tahun Reformasi 1998 yang dipelopori Bapak Reformasi Prof Amien Rais dan aktivis prodemokrasi lainnya, belum berjalan seperti yang diharapkan. Cukup sudah kekerasan dan provokasi pada setiap gelaran pesta demokrasi sampai di sini.
Mencermati neraca keuangan sambil memikirkan siapa yang layak menjadi CEO, general manager, dan dewan komisaris NKRI, tentu lebih mencerdaskan bangsa. Tugas Persyarikatan Muhammadiyah untuk mencerdaskan bangsa dengan gerakan high politics-nya perlu lebih disuarakan.
Dua puluh tahun Reformasi 1998 menuju ekonomi politik lebih berkemajuan. Wallahu alam bishshawab. (*)
Kolom oleh Prima Mari Kristanto, peserta gerakan Reformasi 1998, auditor di Kantor Akuntan Publik, dan penulis buku Nabung Saham Syariah.