PWMU.CO – “Jangan dibaca, Pak,” celetuk Eka Novvy Prasetyowati, peserta Writing Camp (W-Camp) 4, ketika didekati narasumber Ahmad Faizin Karimi, Ahad (16/9/18).
“Lho, Anda menulis itu kan untuk dibaca,” balas Faizin, sapaannya. “He he, malu Pak. Saya nulis dan cetak satu buku saja untuk saya sendiri,” ucap Novvy sembari tertawa.
Peristiwa itu terjadi di SMA Nahdlatul Ulama 1 (Smanusa) Gresik, tempat W-Camp 4 digelar. Perempuan yang berprofesi sebagai guru SMA Negeri 1 Gresik itu mengaku termotivasi mengikuti W-Camp 4 karena ingin bisa menulis sebuah karya sederhana.
“Saya penasaran kok bisa seh orang-orang itu nulis buku. Jadi saya juga pingin bisa nulis. Ternyata setelah ikut, ya sesuai dengan ekspektasi saya. Jadi bisa nulis dengan mudah karena diajari langkah-langkahnya oleh penyaji,” tuturnya.
Ditemui usai menyelesaikan tulisannya, Novvy merasa lega dan seperti tak percaya dirinya sudah punya sebuah karya dalam satu hari pelatihan yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru Indonesia (IGI) Gresik itu.
“Akhirnya saya bisa nulis 766 kata. Itu sesuatu lho buat saya. Tapi saat proses nulisnya itu awalnya bingung bagaimana menyambungkan empat poin yang sudah saya tulis. Dari pengalaman pribadi ke persoalan sosial,” ungkapnya.
Menurutnya, rasa takut salah saat tulisannya dibaca orang lain sempat menghambat jari-jemarinya mengetik di atas tuts keyboard laptopnya.
“Iya takut salah pokoknya. Apalagi menyimpulkan pengalaman pribadi dengan fenomena sosial yang sedang update sekarang ini ya bingung. Jangan-jangan nanti pembaca berpendapat ‘eh kok tibae ngunu tok opinine‘ (eh kok ternyata gitu aja opininya),” jelas Novvy sembari tertawa.
Sementara itu, narasumber pelatihan Ahmad Faizin Karimi berpendapat rata-rat skill dasar yang dibutuhkan penulis pemula adalah kemampuan menemukan ide dari pengalaman, mengaitkan pengalaman pribadi dengan persoalan sosial, lalu menjabarkan secara lugas.
“Kesulitan peserta selama proses pelatihan adalah belum terbiasa berpikir kritis-komprehensif. Mereka perlu berlatih
empati dan memaknai pengalaman sehingga mampu menemukan ide-ide yang sebenarnya sudah berkeliaran di sekitar mereka,” tegas Faizin.
Dia melanjutkan, hasil tulisan peserta di akhir pelatihan umumnya bagus di ragam ide, tetapi kurang di ragam kata (diksi).
“Ya memang harus dibiasakan. Semakin sering menulis, diimbangi dengan bacaan yang cukup, perbendaharaan diksi akan lebih banyak. Saya berharap, peserta membiasakan proses menulis sebagaimana dalam pelatihan sehingga pikiran juga bisa sistematis,” pesannya. (Ria Eka Lestari)