PWMU.CO-Saat berpidato dalam peringatan setengah abad Muhammadiyah di Jakarta tahun 1962, Bung Karno bercerita, saya tatkala berusia 15 tahun telah buat pertama kali berjumpa dan terpukau oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan.
”Pada waktu itu saya di Surabaya. Saya berdiam di rumahnya HOS Tjokroaminoto. Pada suatu hari datanglah di Surabaya Kiai Dahlan mengadakan tabligh. Tabligh yang pertama beliau berikan dekat rumah Tjokroaminoto di kampung Peneleh dan saya hadir dalam tabligh itu,” kata Bung Karno dalam sambutan di Gelora Senayan, 25 November 1962.
Sejak itu, Bung Karno mengaku, selalu nginthil kepada KH Ahmad Dahlan setiap kali datang ke Surabaya memberi pengajian. Menurut Bung Karno, KH Ahmad Dahlan menjelaskan Islam secara sederhana, gampang, bersih, yang dapat dilakukan oleh semua manusia. ”Agama yang tidak pentalitan, tanpa pentalit-pentalit, satu agama yang mudah sama sekali,” tandasnya.
Dari ceramah Kiai Dahlan ini membuat pemahaman Islam Bung Karno yang semula remeng-remeng makin lama menjadi semakin tegas dan kuat. Ajaran Islam yang disampaikan Kiai Dahlan itu dinilai berisi regeneration (regerasi) dan rejuvenation (peremajaan) dari pemahaman agama yang jumud, beku, dan tertutup tahayul.
Waktu berusia 15 tahun berarti kejadian pertemuan Kiai Dahlan dengan presiden pertama RI itu tahun 1916. Saat itu Sukarno sekolah di Hoogere Burger School (HBS) yang lokasinya sekarang menjadi Kantor Pos Kebonrojo. Dia indekos di rumah HOS Tjokroaminoto Jl. Peneleh VII, sebuah gang persis menghadap mulut jembatan Peneleh.
Tjokroaminoto saat itu menjadi Ketua Central Sarikat Islam. Sebagai pemimpin organisasi Islam yang besar semestinya sangat lazim rumahnya berdatangan tamu-tamu penting tokoh-tokoh pergerakan pada zamannya. Satu di antaranya KH Ahmad Dahlan yang datang untuk bertukar pikiran dan memberi pengajian.
Mengunjungi Rumah Tjokroaminoto yang sekarang menjadi cagar budaya dan dikelola oleh Pemkot Surabaya memang sulit menemukan jejak kehadiran Kiai Dahlan di rumah ini. Kisah kedatangan Kiai Dahlan di kampung Peneleh hanyalah dari cerita Bung Karno itu.
Di dinding kamar tamu Rumah Tjokro memang terpampang foto tokoh-tokoh pergerakan yang disebut pernah datang ke rumah ini. Satu di antara foto itu adalah KH Ahmad Dahlan. Soal pemasangan foto Kiai Dahlan itu ada cerita sendiri.
”Saat rumah ini dijadikan museum, awalnya foto-foto yang dipajang hanya tokoh-tokoh nasionalis seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, Agus Salim,” kata Ashari, warga setempat yang juga pemilik Toko Buku Peneleh ditemui Ahad (30/9/2018).
Ketika pegawai Pemkot mampir ke toko bukunya, sambung Ashari, dia tunjukkan buku berjudul Makin Lama Makin Cinta. Dalam buku itu ada pidato Bung Karno yang menceritakan pertemuannya dengan Kiai Dahlan di Peneleh.
”Jadi sebelum mengisi pengajian kemungkinan besar Kiai Ahmad Dahlan bertamu dulu ke rumah Tjokroaminoto sebagai tuan rumah dan tokoh besar zaman itu,” tuturnya. Setelah itu foto KH Ahmad Dahlan ikut di pajang di kamar tamu.
Yanuar Firmansyah, pemandu museum ini, menjelaskan, arsitektur Rumah Tjokro ini bentuknya masih asli seperti asalnya. Hanya saja mebelairnya meskipun benda kuno tapi bukan asli milik Tjokroaminoto.
”Meja, kursi, tempat tidur, bufet, yang sekarang terpasang didatangkan dari luar tapi barang ini modelnya kira-kira se-zaman di masa Tjokroaminoto tinggal di sini,” katanya. ”Tamu tokoh-tokoh pergerakan, sambung dia, kemungkinan ketika berdiskusi di ruang tamu ini.”
Sebagai tempat kos mahasiswa, Rumah Tjokro ini ikut mewarnai lahirnya tokoh besar meskipun tidak satu pandangan ideologi. Mahasiswa yang disebut pernah kos di sini selain Sukarno adalah Alimin, Muso, Semaoen, SM Kartosuwirjo. Foto empat orang ini dipasang di tembok bagian belakang.
Para mahasiswa ini kos di sini dalam rentang waktu yang berbeda. Mereka tinggal di loteng atap rumah. Tanpa jendela dan panas. Dalam bukunya, Bung Karno menceritakan, kamarnya pengap dan gelap sehingga harus menyalakan lampu di siang hari.
Rumah Tjokro yang banyak kedatangan tamu tokoh pergerakan menjadikan para mahasiswa ikut mendengarkan pemikiran yang terlontar dalam diskusi mereka.
Alimin, Muso, dan Semaoen ikut menjadi pengurus SI di Semarang. Tapi kemudian terpengaruh aliran komunis ketika berkenalan dengan Henk Sneevliet.
Sedangkan Kartosuwirjo, mahasiswa Nederland Indische Artsen School (NIAS), sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Unair. Kelak dia memimpin DI/TII di Jawa Barat. (sgp)