PWMU.CO – Mencermati pemilihan rektor ITS periode ini, saya mesti sampaikan apresiasi yang tinggi atas keputusan Prof Joni Hermana untuk tidak mencalonkan diri lagi. Ini adalah bukti kesuksesan beliau memimpin ITS. Kesuksesan itu dapat dipahami dari dua segi.
Pertama, di bawah kepemimpinan beliau ITS terbukti telah siap menjadi PTN Berbadan Hukum full fledge. Kedua, keputusan beliau untuk tidak mencalonkan kembali sebagai rektor adalah pencapaian pribadi yang layak dijadikan teladan.
Di luar alasan kesehatan yang menurun karena beban berat amanah rektor, beliau telah manfaatkan periode kepemimpinannya secara efektif sehingga tidak perlu meminta periode kedua untuk menyiapkan ITS sebagai PTN BH.
Beliau juga menghayati makna jabatan sebagai amanah. Seluruh civitas academica ITS harus bangga memiliki rektor seperti Prof Joni Hermana.
Dalam perspektif inilah kepemimpinan publik perlu kita tradisikan. Setiap jabatan, apalagi jabatan publik, adalah amanah, bukan anugerah yang dikejar-kejar. Jabatan itu seperti bara api, tidak layak digenggam berlama-lama untuk dipertahankan. Bahkan perlu segera dilepaskan dari genggaman tangan.
Dalam perspektif kembali ke UUD 45 seperti yang telah didekritkan oleh Presiden Soekarno 1959, kita perlu mentradisikan kepemimpinan publik sebagai mandataris dan hanya untuk satu periode saja.
Jabatan publik tidak boleh lagi menjadi ajang kontestasi di akar rumput, tapi diserahkan pada para wakil rakyat yang kompeten untuk itu melalui mekanisme musyawarah bil hikmah. Persoalannya kemudian adalah memastikan proses pemilihan wakil rakyat yang dapat dipercaya untuk menghasikkan wakil rakyat yang amanah.
Pembatasan masa jabatan satu periode saja memberi beberapa manfaat penting. Pertama, pejabat akan fokus bekerja penuh selama periode jabatannya, tidak disibukkan untuk memantaskan diri atau melakukan tindakan manipulatif pada pemilihan berikutnya di tahun-tahun terakhir masa jabatannya.
Di samping itu, ada gejala sindrom pelajar: tidak peduli masa tugas yang diberikan, pelajar hanya akan menyelesaikan tugas di tahap-tahap akhir masa tugasnya. Jadi memperpanjang masa jabatan untuk dua periode tidak akan meningkatkan kinerja. Bahkan ini menunjukkan ketidakberhasilan periode pertama.
Kedua, politik uang akan lebih terbatas. Jika ada pemodal dan sponsor, akan lebih kecil modal yang dibutuhkan karena tidak bakal meminta balen yang besar yang hanya bisa dipenuhi untuk jabatan dua periode.
Ketiga, regenerasi kepemimpinan yang lebih cepat. Kita akan lebih berhasil merekrut pemimpin muda.
Keempat, setiap kontestasi akan berlangsung lebih fair. Sudah menjadi rahasia umum, calon petahana akan cenderung memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pemenangannya. Ini naluri alamiah yang perlu dikendalikan.
Dalam perspektif membangun kepemimpinan nasional yang lebih baik itulah, kemenangan pasangan Prabowo-Sandi akan menjadi pembelajaran politik yang lebih sehat. Oleh karena itu, saya anjurkan agar salah satu janji Prabowo dalam Pilpres 2019 ini adalah menjadi Presiden RI satu periode saja. (*)
Gresik, 13 Oktober 2018
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.