PWMU.CO – Prof Dr Zainuddin Maliki MSi mendapatkan surprise alias kejutan saat menjadi pembicara dalam Pengajian Ahad Pagi, di Masjid At Taqwa, Wisma Sidojangkung Indah, Menganti, Gresik (7/10/18).
Selama ini, dalam pengajian-penganjian yang ia hadiri, selalu ada dua waktu yang berbeda. Waktu untuk jamaah dan waktu penceramah.
“Kenapa? Karena asumsinya panitia itu menganggap jamaah itu biar datang dulu, setelah lengkap, baru kemudian pembicaranya datang,” jelas Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surabaya ini.
Nah, yang membuat dia kaget, saat mengisi pengajian di Desa Sidojangkung, jamaah dan pembicaranya diundang dalam waktu yang sama. “Saya diundang juga jam 06.00, jamaahnya diundang jam 06.00,” ucapnya bangga karena pengajian bisa dimulai lima menit sebelum pukul 06.00 WIB.
Prof Zainuddin—sapaannya—mengungkapkan hal itu karena bangsa Indonesia itu umumnya kurang menghargai waktu. “Walaupun sering mengatakan al waktu kasshaif, waktu itu bagaikan pedang, tapi bagi orang Indonesia waktu adalah karet. Jadi molor,” ungkapnya.
Orang Indonesia itu, ujarnya, tepat waktu kalau buka puasa. “Jadi kalau buka puasa itu waktu sangat berarti. Arloji ini ada gunanya. Itu waktu puasa, arloji itu penting. Jadwal imsakiyah itu pun yang dilihat cuma jam berapa Magribnya,” ujarnya disambut tawa jamaah.
Menurut Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim ini, ciri bangsa yang maju itu salah satunya ditandai dengan watak atau sifat masyarakatnya dalam menghargai waktu.
Sementara orang Indonesia sambungnya, kurang perhatian pada disiplin dan kepatuhan terhadap peraturan. “Yang dipikir orang Indonesia itu ‘efisiensi’,” ucapnya.
“Efisien itu apa?” tanyanta retoris pada jamaah. “Efisien itu menggunakan sarana yang kita miliki ini semaksimal mungkin. Itu namanya efisien,” jawab Zainuddin sendiri.
Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur itu menyatakan, karena terlalu memperhatikan prinsip ‘efisiensi’, masyarakat Indonesia sering mengabaikan disiplin dan peraturan. “Peraturan akhirnya diabaikan, disiplin diabaikan, prinsipnya efisiensi,” sindirnya.
Yang menarik, Dosen Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya ini memberi contoh prinsip ‘efisiensi’ orang kota yang membikin jalan macet.
“Di lampu merah itu mestinya kendaraan cuma dua atau tiga jalur. Itu sudah dikasih marka, (tapi) itu berubah jadi enam jalur. Jadi dibagi markanya,” ungkapnya. “Mestinya tidak boleh ada mobil yang rodanya motong di tengah marka.”
Menurut Zainuddin hal itu sering ia jumpai di Surabaya. “Mengapa? Prinsipnya orang Surabaya itu ‘efisiensi’, tidak boleh ada jalan yang kosong. Harus diisi,” jelasnya yang memancing tawa hadorin.
Calon Anggota DPR RI dari Partai Amant Nasiona (PAN) Dapil Gresik-Lamongan nomer urut 2 itu kemudian mengajak jamaah belajar bagaimana negara-negara maju, warganya sangat disiplin dan menghargai waktu.
“Kalau kita pergi jalan-jalan di muka bumi, kita akan tahu bedanya orang-orang yang maju, masyarakat yang maju, dan masyarakatnya yang tidak. Itu kelihatan. Salah satu ciri masyarakat yang maju itu menghargai waktu,” ungkapnya.
Jika pergi ke Jepang, ungkapnya,
kita janjian jam 6 dan terlambat 5 menit maka sudah tidak dihargai oleh orang Jepang. “Kita dianggap sudah tidak disiplin, tidak punya komitmen, kesungguhan,” ujarnya.
Zainuddin juga bercerita bagaimana penghargaan waktu di Jepang. “Mahasiswa juga gitu. Mahasiswa kuliah ditugasi dosennya untuk mengumpulkan tugas itu pasti dikasih tanggal dan jamnya. Kumpulkan tanggal 4 jam 12. Mahasiswa datang jam 12 lewat 5 menit gak akan diterima,” kata dia sambil mengibaratkan hal itu seperti pendaftaran online di internet, yang lewat satu menit pun sudah tidak bisa.
“Dosen di sana itu juga gitu. Saya pernah ke ruangan dosen, mahasiswanya datang terlambat 5 menit sambil nangis-nangis minta dapat nilai,” cerita dia.
Apa yang terjadi? “Saya ngerti alasanmu terlambat. Tapi kan kamu tahu toh peraturan di sini, dosen tidak boleh memberi nilai kalau terlambat menyerahkan tugas,” kata Zianuddin menirukan temannya yang menjadi dosen di Jepang.
“Akhirnya apa? Gagal dia. Karena gagal tidak dapat nilai, maka dia ujian semester berikutnya. Gara-gara 5 menit, dia harus kuliah lagi satu semester. Kalau semester itu bayar lagi itu,” tambahnya.
Berbeda dengan di sini, lanjutnya, terlambat beberapa hari pun tugas mahasiswa masih bisa diterima dosen. “Saya ini kalau ada mahasiswa terlambat lima hari masih saya terima. Saya orang baik kan,” gurau Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sidoarjo itu.
Soal kedisiplinan Zainuddin juga memberi contoh kehidupan di Australia. Suatu hari temannnya—Nur Cholis Huda—berpamitan kepadanya karena akan pergi ke Australia.
“Saya tidak minta sangu. Saya ingin membuktikan omongan Sampeyan, apa betul atau tidak orang Australia itu begitu menghargai waktu sehingga bus kota atau angkot itu ada jadwal waktunya,” ujarnya menirukan koleganya di PWM Jatim itu.
Cerita punya cerita, temannyu itu akhirnya benar-benar bisa membuktikan bagaimana disiplinnya sistem transportasi di Australia. Di halte-halte bus tertulis jadwal berapa menit lagi kendaraan akan tiba.
“Jika muncul angka 15 lalu bergerak 15, 14,10, 5, 3, 2, … 1. Begitu angkanya nol, bus kota itu datang. Dibuktikan betul oleh Pak Nur Cholis Huda itu. Bus kota datang tepat pada angka 0 itu,” ujar Zainuddin menceritakan pengalaman temannya itu.
“Bus kota itu bukan pengajian. Bus kota bukan rapat,” ujar Zainuddin menyindir. “Orang Indonesia itu kalau rapat diundang jam 8, dimulainya itu jam 9 sudah bagus.”
Tapi, lanjutnya, kalau orang Sidojangkung ini diundang pengajian jam 6, jam 6 kurang 15 sudah datang ini tadi. “Makanya itu saya bangga sama Bapak dan Ibu warga Sidojangkung,” ucapnya memberi apresiasi. (MN)