PWMU.CO – Dua peristiwa penting, Isra Mikraj dan juga puasa Ramadhan memiliki tujuan dan persyaratan yang hampir sama. Seperti ketika kita ber-Muhammadiyah. Menurut Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Muhammad Sholihin dua persamaan itu adalah ketulusan dan keikhlasan. Terutama dalam berjuang menegakkan agama Islam.
(Baca: Ber-Muhammadiyah Tidak Boleh Pasif, Pentingnya Nilai-nilai Agama untuk Cegah Tindak Asusila)
Sholihin menjelaskan dalam peristiwa Isra Mikraj itu, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan menuju Sidratul Muntaha untuk menerima perintah shalat lima waktu. Bagi umat Islam peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang berharga. Karena ketika itu, shalat lima waktu diwajibkan.
Sedangkan dalam puasa Ramadhan juga demikian, setiap orang Islam yang melakukan puasa Ramadhan dilarang makan dan minum di siang hari. Menahan lapar dan dahaga, serta menjaga diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasanya. Kita, Lanjut Sholihin, bahkan dianjurkan untuk memohon ampun dari segala dosa. Dan diakhir puasa, kita diperintahkan untuk membayar zakat fitrah, untuk membersihkan jiwa. Sehingga kembali kepada fitrah dan menjadi orang yang bertaqwa.
Begitu juga saat kita ber-Muhammadiyah. Sholihin mengatakan ber-Muhammadiyah memiliki syarat yang hampir sama dengan Isra Mikraj dan puasa Ramadhan. Ber-Muhammadiyah, kata Sholihin, harus dilakukan dengan tulus dan ikhlas agar menjadi orang yang taat dalam beragama, menjaga aqidah dan akhlaknya, serta rela berkorban demi kepentingan bersama.
”Dalam memajukan dakwah Muhammadiyah, kita cuma mengharapkan ridha dari Allah semata. Kemuliaan hanya dapat dicapai ketika kita banyak memberikan manfaat bagi sesama. Khairunnas anfauhum linnas,” ujar mantan Kepala SDM 4 Pucang dalam pengajian peringatan Isra Mikraj dan menjelang Ramadhan, serta Musyawarah Ranting PRM dan PRA Sutorejo Surabaya, Sabtu (14/5) lalu.
(Baca: Bukti Kemandirian Muhammadiyah, Sukses tanpa Sokongan Dana Pemerintah)
Dalam kesempatan itu juga, Sholihin mengingatkan ukuran keberhasilan seseorang dalam organisasi. Bukan hanya dilihat dari tingginya jabatan yang diperoleh. Namun diukur dari sejauh mana dia terlibat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul dalam suatu organisasi. Semakin banyak terlibat, lanjut Sholihin, berarti semakin sukses. Karena hakekat berorganisasi adalah menyelesaikan masalah.
”Orang yang sukses adalah orang yang selalu berfikir tentang cara. Sedangkan orang yang gagal adalah mereka yang selalu menyalahkan orang lain,” tandasnya. (aan)