Catatan itu ditulis oleh Voorzitter Muhammadiyah Cabang Situbondo (sekarang Pimpinan Daerah Muhammadiyah/PDM), S. Prawirosoetomo. Jalan beronak dilalui selama berbulan-bulan, bahkan harus berkali-kali berkorespondensi dengan penguasa setempat.
“Khutbah di Masjid Jami’ Situbondo mulai dari bulan September 1929 saban Jum’at dibaca dengan Arabnya, serta telah diveraal (disalin) dan diartikan ke dalam bahasa umum di Situbondo, yakni Madura,” begitu S. Prawirosoetomo mengawali tulisan.
Prawirosoetomo menyatakan, perubahan ini diawali dengan surat permohanan Pimpinan Muhammadiyah Situbondo kepada Bupati Panarukan pada 6 Juni 1929. Muhammadiyah meminta aagar khutbah Jum’at diterjemahkan ke bahasa warga setempat, bahasa Madura. “Mengingat isinya khutbah itu pentinglah bagi orang Islam (umum) sebab di Masjid itu yang datang berjamaah 90 orang, supaya mendapat rahmat dari Tuhan.”
Begitu pentingnya khutbah Jum’at sebagai ajang pengajaran masyarakat umum yang awam bahasa Arab, tambah Prawirosoetomo, tentu para jamaah tak mengarti apa-apa jika khutbah tetap menggunakan bahasa Arab. “Permohonan ini tidak berhasil, disebabkan oleh keterangan penghulu masdjid tersebut,” jelasnya lagi sambil menyatakan penolakan ini karena “penerjemahan” khutbah ke bahasa lokal bukan termasuk rukun khutbah.
Entah bagaimana ceritanya, yang jelas atas pertolongan Allah swt, tiba-tiba pada Jum’atan di bulan September 1929, dibaca dalam bahasa Arab sambil diartikan ke dalam bahasa Madura. “Akan tetapi belumlah menyenangkan pada fikiran bestuur Cabang Muhammadiyah Sitoebondo sebab yang diartikan itu hanya khutbah “awal”. Khutbah “achir” tiadalah, sedang firman-firman Tuhan tidak diartikan sama sekali.”
Karena itu, Muhammadiyah pada 22 Oktober 1929 kembali mengajukan surat permohonan kepada Bupati lagi. “Oleh karena itu bestuur Muhammadiyah Situbondo memohon jika sekiranya tidak menyalahi hukum syara’, supaya khutbah kesatu dan yang kedua diartikan ke dalam bahasa Madura guna pada yang hadir lekas mengerti pada maksud yang dibacanya,” demikian isi surat itu.
Berbeda dengan nasib surat yang pertama, surat kedua ini tidak mengalami penolakan. “Jumat pada 8 November 1929 khutbah dibaca sambil diartikan seperti permohonan diatas,” tulis Prawirosoetomo. Kesuksesan ini kemudian berlanjut lagi dalam shalat Idul Fitri, ketika khutbahnya juga diartikan dalam bahasa Madura.
Begitulah sejarah pembaruan dalam penyampaian khutbah dengan bahasa setempat yang harus dilalui dengan jalan beronak. Dan, Boedi Oetomo, bagaimana pun juga harus dikatakan punya andil dalam pembaruan ini. (iqbal paradis)