Pada hadits ketiga, Sanad-sanad yang menghubungkan kepada Nabi adalah Muhammad bin Nasir, Abu Ali bin al-Bannaj, Abu Abdullah bin Umar al-allaf, Abu al-Qasim, Ali bin Bandar, Abu Yusuf, Muhammad bin Ubaidillah, Ali bin Asim, Amr bin Miqdam, Ja’far bin Muhammad, dan Muhammad al-Baqir.
Pada hadits keempat, terdapat rantai sanadnya sebagai berikut. Jalurnya riawayatnya adalah Ibrahim bin Muhammad al-Azji, al-Husain bin Ibrahim, Abu al-Husain Ali bin al-Hasan, Abu Abdullah al-Husain, al-Hakim, Abu al-Qasim, Abu Ja’far Muhammad, Abu Ja’far Ahmad, Ahmad bin Abdul Karim, Khalid al-Khinsi, Usman bin Said, Muhammad bin Muhajir, al-Hakam bin Utaibah, Ibrahim, dan Ali bin Abi Talib.
Dari sanad-sanad hadits di atas terdapat rawi-rawi yang majhul dan maudlu’, meskipun hadits-hadits tersebut melalui beberapa jalur sanad. Dalam kitab al-Muhtashar dikatakan, semua hadits yang berhubungan dengan shalat Nisfu Sya’ban tidaklah bersumber dari Nabi.
Adapun pada jalur sanad hadits tersebut terdapat rawi yang bernama Muhammad bin Muhyi, yang menurut Ibn Hibban adalah orang yang mendustakan hadits. Oleh karena itu, Ibn al-Jauzi dalam kitabnya al-Maudlu’at menyatakan bahwa hadits-hadits di atas adalah maudlu’ (palsu). Pemalsu hadits telah membuat (mencomot) nama-nama yang sebenarnya tidak ada dalam periwayatan hadits.
(Baca: Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab? dan Ketika Tidak Puasa 2 Edisi Ramadhan Karena Hamil-Menyusui)
Berdasarkan hadits-hadits di atas, dapat dikatakan bahwa pemalsuan hadits terdorong oleh motif: dengan memperbanyak ibadah akan dapat banyak pahala di sisi Allah. Hal itu tercermin pada hadits pertama yang menyebutkan Allah akan memenuhi kebutuhan hamba-Nya yang shalat seratus rakaat pada malam Nisfi Sya’ban.
Sedangkan pada hadits kedua menjanjikan kepada mereka yang membaca seribu surat al-Ikhlas tidak akan mati kecuali didatangi seratus malaikat. Hal ini juga di ungkapkan pada hadits ketiga hanya saja pada hadits ini menyebutkan dia tidak mati kecuali ditempatkan surga, dan sepuluh dari keluarganya akan mendapat syafaat dari Rasulullah.
Berbeda dengan tiga hadits lainnya, hadits keempat menyebutkan barang siapa yang shalat empatbelas rakaat setiap rakaat membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas, dan ayat kursi, sama dengan melakukan duapuluh haji mabrur, dan puasa duapuluh tahun. Bahkan, jika pada waktu itu sedang puasa maka ia seperti puasa satu tahun yang telah lewat maupun yang akan datang.
Melihat kandungan matan hadits-hadits di atas, sudah tentu banyak umat Islam yang tergiur dengan janji-janji yang luar biasa tersebut. Maka banyak yang melaksanakan shalat Nishfu Sya’ban tanpa melakukan kajian yang lebih mendalam.
(Baca juga: Adakah Tuntunan Islam tentang Rebu Wekasan? dan Adakah Tuntunan Puasa Tarwiyah sebelum Idul Adha, 8 Dzulhijjah?)
Padahal hadits tersebut adalah maudlu’ (palsu) dan tidak layak dipakai hujjah, sehingga membuang tenaga dan tiada guna melaksanakan amalan yang tidak ada dasar dari al-Qur’an dan Hadits. Allah a’lam bi al-Shawab.
Ditulis oleh Prof DR H Zainul Arifin MA, Guru Besar Ilmu Hadits Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya