Memang sejak lama warga Muhammadiyah Yungyang merindukan sebuah masjid. Dalam setiap pengajian rutin, selalu dimanfaatkan untuk berdoa dan berharap agar cita-cita itu terwujud. Impinan itu akhirnya datang juga. Tapi, tantangan tak pernah reda.
Waktu peletakan batu pertama akhir Desember 2014, banyak warga sekitar yang mencibir. Umumnya mereka menyangsikan kemampuan warga Muhammadiyah yang minoritas itu dalam menyelesaikan pembangunan masjid. “Opo iso dadekno masjid. Opo nggak dadi musium (apa bisa menyelesaikan pembangunan masjid. Apa nanti tidak jadi musium)?” kata mereka. “Jamaah sak glintir wae gawe masjid gede, opo ape diisi demit (jamaah sedikit saja bikin masjid, apa akan disisi jamaah jin.”
(Baca juga: Kisah Mbah Saturi, “Wonder Women’ Sepuh dari Gondanglegi)
Sekarang masjid yang diberi nama Jauharo Ali Muhammadiyah itu berdiri megah di tepi jalan. Pada menaranya terpampang lambang Muhammadiyah, ‘Sang Surya dengan Dua Kalimat Syahadat’. Kini, aktifitas pengajian rutin tiap pekan berjalan dengan lancar. Demikian juga Taman Pendidikan Alquran (TPA), meski santrinya tak lebih dari 15 anak. Di dalam masjid juga didirikan perpustakaan. Sementara itu dengan sisa tanah di sekitar masjid seluas 5.870 meter persegi, masih memungkinkan dibangun lagi amal usaha Muhammadiyah yang lain.
Jiwa perjuangan Haji Darim tak akan pernah berhenti. Itu pula yang ia ajarkan pada anak-anaknya. “Kalau hidup sekedar hidup maka hidup tidak bermakna. Hidup harus berjuang, karena dari situ kita bisa tahu makna hidup,” kata Haji Darim menegaskan prinsipnya. “Jangan gampang mengeluh. Pejuang harus siap dicaci dan dikucilkan,” kata Haji Darim pada pwmu.co Jumat (20/5/2016).
Hasil perjuangan Haji Darim itu kini menampakkan hasilnya. Masjid yang kali pertama dipakai setelah Idul Fitri tahun 2015 itu, sekarang makmur oleh jamaah shalat, termasuk jamaah yang bukan warga Muhammadiyah. (Laporan Mohamad Su’ud dari Modo, Lamongan)