PWMU.CO – Sebelum kedatangan Islam, dunia didominasi oleh peradaban Persia, Yunani, India, dan Tiongkok. Namun pada abad ke-7 Masehi, peradaban Islam mulai muncul dan mengungguli peradaban lainnya. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafiq A. Mughni mengatakan, kehebatan peradaban Islam saat itu disebabkan oleh para sarjana Muslim yang berhasil mengkritisi pemikiran-pemikiran yang ada sebelumnya, terutama pemikiran Barat.
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini menjelaskan, Islam kala itu mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan peradaban dunia. Salah satu sumbangsih yang paling mencolok adalah lahirnya banyak perpustakaan di berbagai tempat. “Yang paling terkenal yaitu perpustakaan Darul Hikmah,” ujarnya saat memberikan materi ‘Dakwah dan Dialog Peradaban’ dalam acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) dan Halaqah Dai Khusus, Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat (14/12/18).
Syafiq memaparkan, pada abad tersebut juga banyak forum diskusi keilmuwan yang digagas oleh sarjana-sarjana Muslim. Dan, pesertanya berasal dari kalangan umum. Forum-forum inilah yang membangun khasanah pemikiran Islam.
“Para ilmuwan Islam mengungguli orang-orang Barat, Tiongkok, dan lainnya. Sehingga banyak ilmuwan itu yang didatangi oleh orang-orang Barat. Mereka belajar dari Islam. Mereka menyerap ilmu dari buku-buku karangan pemikir Islam,” jelas pria asal Lamongan ini.
Lambut laun, lanjut Syafiq, peradaban Barat mulai mengambil estafet dari keunggulan Islam. Pemikir-pemikir Barat menyadari ketertinggalannya. Mereka pun kemudian berupaya keras menyusul ketertinggalan tersebut. “Dengan banyak belajar dari buku-buku karangan Muslim, mereka menjadi lebih maju dari kita,” tuturnya.
Sejak saat itu, Islam menjadi tertinggal oleh Barat. Meskipun banyak upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kejayaan Islam, namun menurut Syafiq, hingga saat ini belum berhasil. Seperti pada akhir abad 19 hingga awal abad 20. Setidaknya ada empat gagasan yang ditawarkan untuk membangkitkan peradaban Islam.
“Gagasan pertama adalah tekstualis. Ide ini mendorong umat Islam agar kembali kepada Alquran dan Sunnah. Pemikiran kedua menyatakan, Islam akan kembali unggul apabila mampu meletakkan pemikiran modern dalam konteks Islam. Ada pula yang mengusulkan gerakan sekularisasi. Menurut pendapat ini, Islam akan maju kalau tidak mencampuradukkan antara agama dan kehidupan bermasyarakat. Usulan terakhir menegaskan, jika Islam mau berjaya harus kembali kepada ajarannya yang otentik,” urai Syafiq.
Munculnya berbagai pemikiran itu, menurutnya menunjukkan bahwa umat Islam mengalami kesulitan dalam menerjemahkan ajaran agamanya. Hal tersebut berlangsung sampai saat ini. Banyak pemikiran Muslim yang muncul untuk menghadapi eksistensi di luar Islam. Syafiq kemudian menyampaikan sebuah tesis terkenal yang menyatakan bahwa sumber dari ketegangan dunia Islam adalah karena benturan peradaban.
“Yakni antara peradaban Islam dan peradaban Kristen. Peradaban Timur yang Islami dan peradaban Barat yang Kristiani. Selama ini dunia dihadapkan pada konflik Al Qaeda, Taliban, Palestina-Israel, dan lain sebagainya. Hal itu dianggap sebagai bukti bahwa ada kepentingan untuk membenturkan peradaban,” terang Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban (UKP-DKAAP) ini.
Tetapi, lanjut Syafiq, tesis ini sudah terbantahkan oleh tesis lainnya. Sesungguhnya, saat ini sudah ada kerja sama terus-menerus dan dalam waktu yang lama antara negara-negara Islam dan Barat. Jadi, Kemungkinan sangat kecil ada benturan. Bukti ini menyanggah teori benturan peradaban. Dan, justru mendorong kerja sama antara Barat dan Timur.
“Nah, Muhammadiyah juga ikut mendayung dalam gerakan ini. Persyarikatan mengharapkan tidak ada lagi saling menghancurkan antarperadaban. Tetapi harus bekerja sama untuk menciptakan dunia yang lebih damai,” harap Mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur ini.
Dia menyebutkan, ada berbagai peran yang sudah dilakukan Muhammadiyah dalam mencapai perdamaian dunia. Misalnya, ikut mendorong resolusi konflik. Persyarikatan ini ikut menengahi konflik Korea, Filiphina, dan bangsa Moro, Palestina dan Israel. Konflik Rohingya juga tidak luput dari perhatian Muhammadiyah.
“Tidak kalah pentingnya, Muhammadiyah pun terus mendorong terciptanya tatanan dunia yang lebih adil. Karena sekarang keadilan itu belum ada. Buktinya apa? Keberadaan negara yang punya hak veto. Bayangkan saja, meskipun ada kesepakatan dari 100 negara, kalau negara yang memiliki hak veto tidak setuju, maka kesepakatan itu tidak jadi putusan. Ini jelas jauh dari rasa adil. Maka Muhammadiyah ingin menghapusnya. Kami terus memperjuangkan kesetaraan,” tegasnya. (Ilmi)
Discussion about this post