PWMU.CO – Setelah menyimak pidato kebangsaan Prabwo Subianto Senin (14/1/19) dan pemaparan visi misi Joko Widodo Ahad (13/1/19) saya berkesimpulan bahwa kita sudah menemukan dua tokoh yang benar-benar cocok dan pas untuk membawa kemajuan bagi Indonesia ke depan.
Joko Widodo menunjukkan perhatiannya yang tinggi terhadap persoalan infrastruktur nasional. Ia menunjukkan pengetahuan yang detail mengenai infrastruktur dan mempunyai visi yang jelas mengenai pembangunan pelabuhan, bandara, jalan tol, jembatan, dan jalan raya.
Sementara Prabowo cara berpikirnya komprehensif dan diskursif, mampu merumuskan persoalan-persoalan besar bangsa Indonesia dan kemudian merumuskan dengan gamblang apa yang harus dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan itu.
Jokowi detail dalam menjelaskan hal-hal teknis. Jokowi sudah menunjukkan bakatnya yang hebat untuk blusukan sampai masuk ke lubang got sekali pun.
Jokowi adalah layman, man in the street, dan man at work dengan semboyan kerja, kerja, kerja. Ia practical man yang tidak perlu terlalu banyak wacana, tidak perlu banyak mikir yang penting kerja
Dari segi wawasan, Jokowi masih belum kelihatan menonjol. Ia tidak bisa berpikir komprehensif, apalagi bicara soal wacana-wacana strategis. Jokowi memang pernah mempunyai gagasan hebat yang disebut Revolusi Mental. Entah dari mana dia dapat ide itu. Yang jelas, ketika ia memaparkan gagasan itu pada pilpres 2014 orang terpukau.
Ia mencanangkan lima gerakan perubahan sebagai inti gerakan revolusi mental, yaitu Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Bersatu, Gerakan Indonesia Mandiri, Gerakan Indonesia Melayani, dan Gerakan Indonesia Tertib.
Gagasan yang hebat tapi implementasinya kosong, dan hasilnya nihil, karena Jokowi tidak memahami landasan filosofis dan landasan konseptualnya. Gagasan revolusi mental terlalu complicated untuk dipahami Jokowi.
Sebagai manusia practical yang hanya bisa bekerja Jokowi terlihat tidak nyaman dengan konsep revolusi mental. Tak heran, revolusi mental hanya gegap gempita di tahun pertama kepemimpinan Jokowi. Tahun berikutnya tak pernah lagi Jokowi membahasnya. Dan tahun-tahun terakhir ini Jokowi seolah-olah malu memperbincangkannya.
Jokowi tak suka berpikir berat. Ia lebih suka kerja. Ia tak suka membaca referensi-referensi yang rumit. Ia lebih suka membaca Sinchan di waktu senggang.
Sedangkan Prabowo adalah man of idea, manusia gagasan. Cara berpikirnya strategis dan komprehensif. Maklum dia punya pengalaman luas sebagai tentara, termasuk menjadi komandan Kostrad yang sudah pasti berpikir strategis.
Prabowo memandang persoalan dengan visi yang luas. Itulah ciri seorang pemimpin yang visioner. Ia memandang persoalan dengan sudut pandang dari atas, helicopter’s view, sehingga ia bisa memotret persoalan bangsa yang kompleks dari sudut pandang yang luas.
Ia mengidentifikasi banyak problem nasional, mulai dari kemelaratan yang menyebabkan Pak Hardi gantung diri, seorang anak yang tidak masuk sekolah karena kelaparan, sampai ke persoalan kedaulatan negara yang terancam karena utang dan ketergantungan luar negeri.
Prabowo prihatin terhadap kemungkinan terjadi lost generation, karena buruknya kualitas pertumbuhan kecerdasan anak-anak Indonesia yang menderita stunting yang menyebabkan tubuhnya cebol dan otaknya terbelakang.
Ketimpangan sosial makin lebar. Satu persen warga yang over-priviledged menguasai 90 persen aset rakyat kebanyakan. Negeri yang kaya raya ini miskin karena salah urus. Perusahaan milik negara rugi karena salah kelola.
Prabowo memunculkan gagasan reorientasi pembangunan nasional secara total. Untuk mengatasi persoalan besar ini Indonesia harus mandiri, kuat, dan berdaulat.
Ia menuangkannya dalam visi “Indonesia Menang” berisi lima gagasan swasembada, yaitu swasembada pangan, energi, air bersih, dan kelembagaan yang kuat mulai dari polisi, TNI, Kejaksaan, Pengadilan, dan juga intelijen.
Melakukan pemetaan masalah, kemudian merumuskannya, lalu menemukan kesimpulan untuk mengatasi masalah. Prabowo memperkuatnya dengan referensi yang komprehensif.
Prabowo memahami the importance of ideas, pentingnya gagasan. Perubahan-perubahan besar hanya akan muncul dari ide-ide besar. Prabowo juga paham the ideas of important, gagasan mengenai yang penting.
Isaiah Berlin (1909-1997) adalah filosof yang melakukan studi mengenai sejarah gagasan besar dunia dan bagaimana ide besar itu menghasilkan perubahan besar. Tidak ada perubahan besar yang lahir tanpa gagasan-gagasan besar.
Karena itu seorang pemimpin tidak cukup hanya kerja, kerja, kerja. Harus ada ide besar yang dipahami dan dihayati, lalu diamalkan sebagai kerja. Revolusi mental adalab ide besar tapi tidak punya landasan konseptual dan landasan filosofis yang dipahami dengan baik oleh Jokowi, maka akhirnya ide besar itu mangkrak.
Menyaksikan pidato visi misi Jokowi dan Prabowo seperti mengikuti tes penelusuran minat dan bakat. Akhirnya bisa disimpulkan bahwa Jokowi memang layak menjadi Menteri PUPR. Sementara untuk menjadi presiden, Prabowo-lah orang yang paling tepat. (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.