PWMU.CO – Dua hari yang lalu Rocky Gerung dilaporkan oleh John Boyd Lapian ke polisi. Tuduhannya: Rocky Gerung telah menistakan agama saat mengatakan—beberapa bulan silam—bahwa kitab suci adalah fiksi. Pelapornya sudah jelas Jokower sejati yang selama ini bersimaharajalela di jagad maya. Alih-alih membuka counter discourse untuk berpolemik tentang ini, Lapian justru mengkriminalisasi Rocky. Sungguh kesembronoan Lapian ini berpotensi menambah kedunguan masyarakat.
Saya telah membimbing sarjana, magister, dan doktor teknik selama 20 tahun lebih. Mereka harus menulis skripsi, thesis, dan disertasi untuk lulus. Pengalaman ini mengharuskan saya buka mulut untuk membenarkan pernyataan Rocky.
Sebagai Muslim yang sudah mengenal Alquran selama 40 tahun lebih, saya sependapat bahwa Alquran adalah fiksi. Kita tunggu sikap polisi apakah akan menambah bukti kerendahan literasi masyarakat kita. Ini sekaligus menjelaskan betapa demokrasi kita saat ini justru menimbulkan deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa dan negara adalah konsep yang terlalu abstrak bagi masyarakat dengan literasi yang rendah.
Mahasiswa-mahasiswa yang saya temui juga menunjukkan kemampuan literasi yang makin terbatas; sebagian karena mereka terlalu mengandalkan pendidikan formalnya, bukan mengandalkan kekayaan bacaan mereka. Akibatnya masyarakat kita memang makin bersekolah tapi makin tidak terdidik. Too much schooling but less education. John Taylor Gatto bahkan mengatakan pendunguan massal melalui persekolahan.
Banyak hal penting dalam kehidupan hanya berupa tulisan atau simbol. Jokowi menjadi Presiden hanya karena selembar kertas Surat Keputusan KPU yang menyatakan kemenangannya dalam Pilpres 2014. Tanpa konstitusi sebagai rangkaian kata, Indonesia tidak pernah ada. Indonesia juga fiksi, tidak in factu, hanya cerita (narasi) besar yang maknanya tergantung pada kemampuan mendongeng dan pengalaman kita mengIndonesia.
Indonesia tidak pernah selesai, tapi selalu dalam proses menjadi, in statu nascendi. Bahkan bangsa Indonesia hanyalah sebuah imagined community. Sebagai gagasan, Indonesia merupakan gagasan radikal di zaman kolonial. Untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya, kita harus sembunyi-sembunyi atau menghadapi risiko ditangkap polisi kolonial.
Alquran sebagai kitab suci—yang mensucikan jiwa dan pikiran—bagi saya adalah fiksi, tapi tidak fiktif. Nama kitab suci ini khas, artinya Bacaan atau The Reading. Bahkan Alquran menyebut dirinya Alkitab (tulisan) sekaligus Alghaib (tak kasat mata). Manusia adalah makhluk simbolik, homo simbolicum. Manusia hidup dalam dua dunia: dunia nyata dan dunia simbol.
Bacaan seperti kitab suci adalah hidangan spiritual bagi manusia sebagai makhluq simbolik. Bahkan manusia yang sungguh beriman akan bergetar hatinya saat dibacakan ayat-ayat suci. Melalui berdzikir dengan membaca Alquran bahkan hati manusia menemukan ketenangan.
Kita tidak perlu menjadi arkeolog seperti Dr Indiana Jones untuk bisa mengatakan bahwa Firaun dan Musa adalah fakta. Sebagai orang beriman kita menerima begitu saja tokoh-tokoh yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci sebagai fakta karena kita yakin dengan kebenaran kisah itu. Sebagai Muslim saya percaya bahwa Muhammad Rasulullah SAW itu pernah hidup 14 abad yang lalu. Kisah tentangnya saya terima dari guru-guru saya, buku-buku yang saya baca, dan Alquran yang diajarkannya. Saya hanya melihat kuburnya tahun lalu.
Pernyataan Rocky itu mengejutkan atau malah menjengkelkan karena jika kita terlalu lama hidup dalam hoaxes yang fiktif dan kebohongan, kebenaran yang disuarakan oleh siapapun akan terdengar seperti petir yang menghantam kepala kita. Apalagi jika yang mengatakannya Rocky. No Rocky No Fiksi.
Gunung Anyar, 30 Januari 2019
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya.