PWMU.CO – Dalam pendidikan keluarga, keteladanan orangtua menjadi hal yang sangat penting. “Jenengan gak usah nyamboki (memukul) anak supaya membaca Alquran. Kalau orangtua membaca Alquran, anak-anak akan melihatnya. Maka anak-anak pun ikut membacanya.”
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menyampaikan hal itu dalam Pengajian Ahad Pagi di Masjid At Taqwa Wisma Sidojangkung Indah, Menganti, Gresik (3/2/19).
“Jenengan gak usah menyuruh anak-anak belajar dengan marah-marah. Kalau Jenengan rajin baca buku, maka mereka, anak-anak, juga suka baca buku,” ungkapnya.
Menurut Syamsuddin, baca buku, shalat jamaah di masjid, atau membaca Alquran, adalah ‘budaya’ yang diciptakan berdasarkan pembiasaan. Oleh karena itu, ujarnya, orangtua harus memberi keteladanan sebagai upaya pembiasaan itu. “Kata kunci pendidikan di lingkungan keluarga adalah keteladanan,” ucapnya.
Lebih jauh, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu mengatakan bahwa peran ibu sangat strategis. “Karena (ibu) yang sering dilihat oleh anak-anaknya. Ayah sering pergi ke luar rumah karena mencari nafkah,” ungkapnya.
Syamsuddin lalu mengutip sebuah hadits tentang orangtua yang paling berhak mendapat perlakukan baik. Ternyata Nabi Muhammad menyebut ibu sebanyak tiga kali baru ayah sekali. “Apa rahasianya? Karena yang paling sering bertemu anak-anak adalah ibunya,” kata Syamsuddin. Itulah peran strategis, sambungnya, yang membuat kedudukan ibu mulia.
Dia lalu memberikan contoh strategisnya peran ibu itu dengan kisah dalam Alquran. “Ada seorang nabi yang bisa dikatakan tidak berhasil mendidik anaknya. Kenapa? Karena anaknya adalah kafir,” ujarnya.
Yang dimaksud Syamsuddin adalah Nabi Nuh yang anaknya, Kan’an, tidak taat alias kafir pada perintah Allah untuk mengikuti ayahnya menaiki bahtera saat terjadi banjir bandang.
Seperti dikisahkan dalam Alquran Surat Hud Ayat 42-43, ‘Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.’ Anaknya menjawab: ‘Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!’ Nuh berkata: ‘Tidak ada yang (dapat) melindungi (di) hari ini dari adzab Allah selain Allah (saja) yang Mahapenyayang.’ Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
Kekafiran anak Nabi Nuh itu, menurut Syamsuddin karena pengaruh dominan sang ibu. Sedangkan istri Nabi Nuh itu tidak mau beriman. “Istrinya menghianati suaminya tidak mau ikut agama yang dibawa suaminya,” kata Syamsuddin.
Berbeda dengan Nabi Musa. Meski sejak kecil dia hidup di istana Firaun, tapi karena Musa kecil dibimbing oleh Asiyah—istri Firaun yang beriman (imraatun mukminantun)—maka tumbuhlah dia sebagai pemuda yang baik bahkan di kemudian hari menjadi seorang nabi.
Kisah Musa kecil sampai di istana Firaun diceritakan Syamsuddin. Berawal dari mimpi Firaun yang ditakwilkan (ditafsirkan) bahwa akan lahir bayi laki-laki dari Bani Israel yang akan menghancurkan kerajaan Firaun. Karena itu semua bayi laki-laki keturuan Bani Israil harus dibunuh.
Musa kecil, oleh ibunya, diselamatkan dengan menghanyutkan ke sungai, sehingga ketika sampai di lingkungan istana dia diselamatkan keluarga kerajaan dan diasuh hingga besar.
“Musa yang mulai kecil hidup di keluarga Firaun yang kafir itu tumbuh menjadi anak saleh—bahkan jadi nabi—karena diasuh wanita shalehah,” ujar Syamsuddin.
Syamsuddin pun memberi contoh keluarga Indonesia yang ayahnya Muslim dan ibunya non-Muslim. Ternyata, anak-anaknya ikut ibunya. (MN)