PWMU.CO – Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) mengatakan umat Islam di Indonesia sudah mendapat keleluasaan dalam menjalankan agamanya. Oleh karena itu dia mempertanyakan jika masih ada yang menginginkan berlakuknya syariah Islam di Indonesia.
“Banyak yang mengatakan perlu pelaksanaan syariah dalam negeri kita. Saya ingin balik pertanyaannya, syariah apa yang tidak bisa dilaksanakan di negeri kita ini? Syariah apa? Hukum syariah apa yang tidak bisa dilaksanakan?” kata JK saat memberi amanah dalam penutupan Tanwir Muhammadiyah, di Balai Raya Semarak Bengkulu, Ahad (17/2/19).
JK mengatakan, sekarang ini umat Islam bebas menjalankan agamanya. “Ibadah tentu semua bebas dan alhamdulillah kita mempunyai masjid dan mushala hampir satu juta,” ungkapnya.
Bahkan menurutnya, saking banyaknya tempat ibadah itu, Dewan Masjid Indonesia dan Kementerian Agama tidak tahu persis berapa jumlahnya yang benar. “Karena tiap mereka mendirikan mushala tanpa izin juga,” ucapnya.
Selain maraknya tempat ibadah, JK melihat tumbuh pula semangat beribadah yang luar biasa. “Masjid-masjid kita selalu penuh. Biasanya hanya dua shaf (baris), sekarang jadi enam shaf. Tapi menurut (takmir masjid) lebih ramai lagi kalau hari kerja. Bisa penuh hanya untuk (shalat) Maghrib. Karena sebelum orang pulang bisanya Maghrib di situ. Dan itu tidak terjadi 10 tahun lalu,” kata JK menceritakan saat berjamaah shalat Maghrib di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta, sehari sebelum bertolak ke Bengkulu.
Jadi, kata JK, apa yang tidak bisa? “Mau puasa dikasih mudah. Mau bayar zakat ada undang-undangnya. Undang-undang bukan tentang zakatnya tapi bagaimana membayar zakat,” ungkapnya.
Menurut JK semangat beribadah umat Islam Indonesia semakin bertambah dan semakin baik. Hal itu tampak juga dalam berhaji. “Orang yang haji menunggu 20-25 tahun baru naik haji. Yang bisa mengalahkan kita cuma Malaysia. Malaysia butuh 35 tahun rata-rata,” ujarnya.
JK juga mencontohkan lahirnya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). “Itu juga cara bangsa ini untuk menjadikan kehidupan itu akan lebih islami, sebenarnya. Sebagaimana kita sebut dulu. Tetapi tetap berharkat kepada kebhinnekaan, tetap menghargai perbedaan-perbedaan itu,” kata dia.
Dengan bebasnya umat Islam menjalankan syariah di Indonesia maka JK menganggap tidak perlu adanya negara Islam. “Kita tak perlu secara formal untuk menerapkan bahwa kita negara Islam,” ujarnya.
JK menegaskan, yang perlu diperjuangkan justru bagaimana Islam sebagai tata nilai bisa dipraktikkan di Indonesia, seperti kejujuran, kedisiplinan, keteraturan, dan kebersihan. “Ini yang justru dilaksanakan oleh negara-negara yang tidak Islam. Tata nilai, bukan akidah sekali lagi, bukan ibadah sekali lagi. Tata nilai,” ucapnya.
JK lalu mengutip Syekh Muhammad Abduh, seorang ulama Mesir terkemuka. “Saat pergi ke Perancis dia mengambil kesimpulan bahwa di sana tidak ada Islam, tetapi dia melihat kehidupan yang islami. Dia melihat di Mesir banyak yang Muslim, tapi tidak melihat kehidupan yang islami di Mesir. Itu sebagai koreksi dari pada Syekh Muhammad Abduh tentang kita semua pada 100 tahun yang lalu,” ujarnya.
Menurut JK, di negara-negara Islam kuat dalam ibadah dan akidah (habluminallah), tetapi lemah dalam praktik muamalah (hablumninannasi), yaitu dalam tata nilai berhubungan sesama seperti kejujuran dan sebagainya tadi.
“Itulah maka apa yang diputuskan oleh Tanwir ini, itu menjadi bagian daripada upaya kita semua menjadi mencerahkan Islam,” ujarnya menanggapi hasil Tanwir Muhammadiyah berupa Risalah Pencerahan dan Rekomendasi Tanwir. (MN)