PWMU.CO – Sejak Senin (30/5), Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengadakan kegiatan Master Level Course (MLC) on Shari’ah and Human Right.
Kegiatan yang bertema Background and Core Issues in Contemporary Indonesia dibuka oleh Ketua PUSAM UMM Prof Dr Syamsul Arifin MSi. Dalam pidatonya, Syamsul mengatakan bahwa acara MLC ini sudah berjalan sejak tahun 2010. “Acara ini bermula ketika pada tahun 2006 ada kunjungan Oslo Coalition Norway ke Universitas Muhammadiyah Surabaya,” katanya.
Pada saat itu, Syamsul memberikan hasil penelitian disertasinya pada mereka. Tidak terduga, beberapa bulan kemudian ia diundang ke Norwegia untuk melakukan penelitian tentang HAM selama 1 bulan di Norwegian Center of Human Right. Setelah melakukan penelitian, pihak Oslo menanyakan kepada Syamsul, ‘Apa yang akan anda lakukan setelah ini?’. “Dari situlah kemudian timbul gagasan untuk mengadakan acara MLC ini,” katanya.
(Baca: Perguruan Tinggi Muhammadiyah Siapkan Diri Jadi Research University)
MLC ini diadakan di UMM INN selama 5 hari Senin-Jumat (30/5-3/6). Pemateri pada acara ini datang dari berbagai negara, di antaranya, Prof Mun’im Sirry PhD (The University of Notre Dame, Indiana, USA), Prof Tore Lindholm (The University of Oslo, Norway), Prof Brett Scharffs (Bringhman Young University, Provo, Utah, USA), Lena Larsen, PhD (Director of Oslo Coalition, Norway), Prof Jeroen Temperman (Erasmus University Rotterdam), Dr Budhy Munawar-Rachman (The Asia Foundation), Prof Dr Syamsul Arifin MSi (The University of Muhammadiyah Malang), Dr Ahmad Nur Fuad (the UIN Sunan Ampel Surabaya) Cekli Setya Pratiwi SH LLM (The University of Muhammadiyah Malang).
Setiap peserta MLC ini harus memiliki research tentang HAM, yang judul dan abstraknya sudah di-submite ketika melakukan pendaftaran. Oleh karena itu beberapa bulan setelah selesai acara MLC ini, peserta akan dipanggil kembali untuk mengadakan confrence dan mempresentasikan hasil penelitiannya. Dari 30 peserta akan dipilih dua peserta yang terbaik dari aspek penelitian dan keaktifannya. Mereka akan dikirim ke Norwegian Center of Human Right di Oslo Norwegia untuk belajar tentang HAM selama kurang lebih 10 hari.
Mengingat Indonesia merupakan negara yang sangat plural, maka penguatan HAM melalui program MLC ini sangat berkontribusi untuk meredam konflik yang ada di Indonesia. Bahkan diharapkan dapat mengurai konflik tersebut. Soal pandangan tentang HAM yang seringkali dimaknai sebagai proyek Barat atau bentuk hegemoni Barat, dalam forum MLC ini hal itu dieliminir.
(Baca juga: Tim Ahli Tan Tock Seng Hospital Singapura Latih Dokter Jaringan RS Muhammadiyah/Aisyiyah Se-Jatim)
Dalam penjelasannya, Prof Brett Scharffs mengatakan bahwa dalam penyusunan draft HAM, negara-negara seperti Amerika dan Uni Soviet (kala itu) sebenarnya sangat tidak berminat dengan isu HAM. “Karena pada waktu itu Amerika sendiri sangat diskiriminatif pada warga negaranya,” katanya. Jika melihat negara-negara yang meratifikasi UDHR pada tahun 1948, kata Brett, maka 18 negera yang meratifikasi itu sangat majemuk, mulai dari negara maju, negara berkembang, negara dengan mayoritas Islam, maupun negara dengan minoritas Islam.
Mengingat masih banyaknya kasus HAM di Indonesia yang belum terselesaikan, seperti kasus Salim Kancil, Kasus Syi’ah di Sampang dan Kasus Siyono, maka melalui MLC ini, pemahaman HAM para akademisi dapat ditingkatkan. Sehingga para akademisi mampu merumuskan dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Dan mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM berikutnya. (M Arfan Mu’ammar)