“Jadi Eyang nggak bisa pulang,” katanya. Tapi pertolongan itu akhirnya datang. “Alhamdulillah, suatu ketika, ada kongres dokter internasional di Lahore, sekitar tahun 1933-an,” kata Diah. “Ada dokter dari Pattani Thailand Selatan yang menggunakan jasa Eyang untuk menjadi penerjemah.”
Diah bercerita bahwa dokter itu tertarik dengan eyangnya. “Lalu mengajak beliau ke Pattani menjadi asistennya. Eyang yang waktu itu masih berusia 20 tahun, diperlakukan seperti anak sendiri,” ungkapnya.
(Baca juga: Siti Walidah, Lebih dari Seorang Kartini)
Hingga akhirnya sang dokter ini berencana mengirim Djumhan ke Bangkok untuk belajar. “Tapi sebelum niat itu terlaksana, dokter yang baik hati itu meninggal dunia,” kata Diah. Djumhan kembali sebatang kara. Lalu ia berpikir akan ke Bangkok untuk mencari pekerjaan. “Waktu itu Eyang hanya punya dua lembar sarung dan baju yang melekat di badan saja,” kata Diah.
“Sampai di Bangkok, Eyang beristirahat di Masjid Kampung Jawa, yang terletak di Distrik Sathorn, Yannawa,” kisahnya. Beberapa hari di masjid itu, membuat Imam Masjid Kampung Jawa tertarik pada Djuman. “Karena Eyang orang asing tapi bisa bicara bahasa Jawa dan Thai halus,” tutur Diah.
(Baca juga: Ini Salah Satu Perbandingan Kartini dan Siti Walidah)
Imam Masjid Kampung Jawa itu akhirnya menjodohkan Djuman dengan putrinya. Daerah itu dinamakan Kampung Jawa karena memang nenek moyang mereka datang dari Jawa. “Mereka dikirim ke Thailand untuk mengurusi kebun istana,” tutur Diah.
“Imam masjid itu sendiri nenek moyangnya dari Kutoharjo Jawa Tengah. Tapi istrinya orang Cina dari Chiangmai,” kata Diah yang mendapat kisah ini dari pamannya, Vinai Dahlan (anak ke-6 Djumhan) dan Auntie Rambhai Dahlan (anak pertama Djumhan). Setelah di Thailand Djumhan mengubah namanya menjadi Erfaan Dahlan. Karena ada kewajiban di Thailand untuk memiliki nama Thai selain nama Islam. Baca Sambungan hal 3 …