PWMU.CO – Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Timur M. Totok Hariyono mengakui problem terbesar pemilu di Indonesia yang belum bisa diberantas adalah praktik politik uang.
“Itulah pekerjaan rumah kita, Bawaslu, dan masyarakat Indonesia. Kalau kita bisa berantas politik uang dalam hajatan besar lima tahunan ini, maka itu sudah revolusi namanya,” katanya dalam diskusi di Co-Millenial Space Gedung A Lantai 4 UMSurabaya, Senin (8/4/19).
Diskusi yang mengangkat tema “Mengurai Praktik Kotor dalam Pemilu 2019: Riset tentang Diksi Provokatif, Pola Politik Uang dan Netralitas Penyelenggara” tersebut diikuti oleh puluhan peserta.
Menurut dia, praktik politik uang masih terjadi lantaran kuatnya budaya transaksional dan adanya budaya permisif dari masyarakat Indonesia. “Kondisi itu pun membuat ongkos politik kian mahal, dan prilaku koruptif mereka yang jadi sangat tinggi,” terangnya.
Padahal, kata dia, untuk mendapatkan pemimpin yang berintegritas, praktik politik uang tidak boleh ada. “Maka, kita harus berani tolak uangnya, dan jangan pilih orangnya. Laporkan temuan itu karena dengan begitu akan bisa mengikis praktik politik uang,” paparnya.
Soal netralitas penyelenggara pemilu yang masih banyak diragukan, Totok menolak anggapan lembaganya tidak netral.
Ia menyatakan, sulit bagi Bawaslu untuk tidak netral karena sanksi untuk ketidaknetralan penyelenggara pemilu cukup berat, yakni sanksi pemecatan.
“Bagi kita (Komisioner Bawaslu) sanksi etik dari DKPP itu lebih berat dari hukuman penjara. Kalau kita disanksi itu artinya kita gak pantas jadi penyelenggara. Kita sangat malu sekali kalau sudah diputus begitu,” sebutnya.
Totok pun menyatakan, sanksi keras akan diberikan kepada calon yang diketahui melakukan politik uang. “Secara aturan mereka yang kedapatan money politics akan langsung dicoret. Meski mereka memperoleh suara terbanyak,” ungkapnya. (Aan)