PWMU.CO – Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional kebangkitan perempuan pribumi itu seorang muslimah yang cerdas. Kalau pun tidak berjilbab itu hanya persoalan adat di zaman dahulu.
Demikian disampaikan Ustadz Dr Imam Syaukani MA pada Pengajian Ukhuwah yang diselenggarakan PCM Ngagel di Masjid Asy-Shuhada Ngagel Surabaya, Ahad (21/4/2019) pagi. Pengajian diikuti jamaah Muhammadiyah Ngagel itu mengangkat topik RA Kartini dalam Perspektif Islam.
”Katanya muslimah tapi kok nggak kudungan? Janganlah kita menggunakan teropong masa kini untuk melihat masa lalu, begitu juga sebaliknya. “Yo jelas gak nyambung,” ungkapnya.
Selain itu, menurutnya, juga harus dilihat budaya dan kebiasaan yang berkembang pada saat itu. Zaman dahulu belum lazim pakai kerudung. “Sama seperti di zaman Pangeran Diponegoro yang belum lazim memakai helm. Makanya beliau memakai sorban,” kelakar Ustadz Imam disambut tawa hadirin.
Ia menceritakan pengalamanya saat sekolah zaman dulu. Meski ia sekolah di Muhammadiyah tahun 70-an, baik guru maupun teman perempuan juga belum ada yang berjilbab. ”Lambat laun kemudian, ada anjuran agar guru dan siswi Muhammadiyah harus berjilbab,” ucapnya.
Ketua Korps Muballigh Muhammadiyah (KMM) Kota Surabaya itu melanjutkan, suatu adat menjadi lazim berlaku bagi umat Islam asalkan adat itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
”Al adatu muharromah. Adat itu bisa jadi hukum selama adat tersebut tidak bertentangan dengan syariah,” jelasnya.
“Kalau menurut saya pakaian Kartini itu sudah bagus di zamannya. Coba lihat, perempuan waktu itu bajunya hanya kemben saja, dari dada ke bawah. Nah, Kartini sudah pakai kebaya,” tuturnya.
Dia menceritakan pada zaman dulu, termasuk masa hidupnya Kartini tidak lazim perempuan itu bersekolah tinggi. Perempuan bisa baca tulis saja hal yang langka. Perempuan kebanyakan zaman itu hanya dijadikan sebagai hadiah.
“Apakah hanya zamannya Kartini saja perempuan dijadikan hadiah?” tanyanya pada hadirin. “Tidak,” jawabnya. Ia kemudian memberi contoh Rasulullah pernah mendapat hadiah seorang perempuan. Nabi Ibrahim juga pernah mendapat hadiah perempuan, yaitu Siti Hajar.
Ustadz Imam menerangkan, RA Kartini itu muslimah cerdas. Banyak hikmah dan inspirasi yang bisa dipetik dari kisahnya. Pemikirannya memperjuangkan hak-hak anak bangsa. Terutama perempuan. Kartini mengangkat ide utama emansipasi perempuan, pendidikan, keagamaan, dan kebangsaan.
”Sebenarnya gagasan Kartini itu adalah kegelisahannya sebagai anak ningrat yang terkungkung. Pergaulannya terbatas sebagai anaknya bupati Jepara,” katanya.
Menurut dia, dalam pemikiran keislaman Kartini ada dua hal yang dipertanyakan. Pertama, mengapa Alquran tidak boleh diterjemahkan. Kedua, mengapa perempuan tidak boleh memilih jodoh.
”Ini fundamental. Karena Alquran tidak diterjemahkan maka bangsa kala itu nggak mengerti maknanya,” sesal sang ustadz. Termasuk pemahaman tentang kerudung di zaman itu tidak seperti saat ini.
RA Kartini menikah dengan KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat dikaruniai seorang anak bernama Soesalit Djojo Adhiningrat lahir 13 September 1904. Oleh sebab pendaharan saat melahirkan putranya itu, pada 17 September 1904 Kartini meninggal dunia pada usia 25 tahun.
Setelah wafat, surat-surat Kartini yang dikirim kepada beberapa teman korespondensinya orang Eropa seperti JH Abendanon yang menjabat Menteri Pendidikan Hindia Belanda.
Surat-surat itu dijadikan buku oleh Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht pada 1911. Buku ini diterjemahkan oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. (Mulyanto, Azizah)