PWMU.CO – Dalam khazanah ilmu ekonomi, kenaikan harga-harga berbagai komoditi secara umum dan kontinu ini disebut inflasi. Kenaikan harga bisa dipicu permintaan yang banyak atau meningkat terhadap barang-barang tertentu. Lantas bagaimana harga barang justru naik pada saat Ramadhan ketika umat Islam yang berpuasa merubah pola makan dari 3 kali menjadi 2 kali?
Fakta di lapangan justru harus membuat siapa pun terbelalak. Sebab, dalam berpuasa, pola makan memang benar berubah 2 kali dari 3 kali di hari-hari biasa. Namun, yang perlu dicatat, ketika berbuka ternyata tidak hanya cukup atau kurang lengkap jika hanya makan, tanpa kolak, es kelapa, dan lain-lain. “Ini belum termasuk dorongan agama untuk memperbanyak amal, seperti menyediakan ta’jil, memberi makan orang miskin, infaq, dan lain-lain,” kata Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PW Muhammadiyah Jatim, Indra Nur Fauzi MM.
(Baca: Jangan Jadi Umat Islam Sontoloyo! dan Kakak-Adik Anak Penjual Timba Keliling, Pimpin Muhammadiyah-Aisyiyah Sukodadi Lamongan)
Hal inilah yang mengakibatkan konsumsi masyarakat naik berlipat-lipat saat Ramadhan. Untuk komoditas beras misalnya, dalam penelitian 5 tahun lalu, Indra menjelaskan, 7 juta kepala keluarga (KK) penduduk Jatim hanya mengonsumsi beras 5,6 ton/hari, 0,8 kg/KK. Namun ketika Ramadhan, 10 % di antara mereka (700 ribu) rata-rata berderma 1,5 kg/hari, sehingga kebutuhan komoditas ini sebesar 1,05 ton/hari.
Artinya, dalam satu hari puasa saja di Jatim harus tersedia beras sejumlah 6,65 ton, yang terdiri dari 5,6 ton regular dan 1,05 ton filantropis. Jika jumlah ini dikumulatifkan selama satu bulan, maka beras yang dibutuhkan sebanyak 199,5 ton, 6,65 ton x 30 hari. Lalu bagaimana di sektor lain?
(Baca: Pimpinan Muhammadiyah Harus Tuntas Masalah Ekonomi dan Cara Muhammadiyah Sosialisasikan Lagu Indonesia Raya pada Tahun 1930)
Yang patut dicatat, di balik laju kenaikan harga barang setiap Ramadhan, terdapat tindakan spekulasi para pedagang dengan cara “menimbun” barang demi meraup keuntungan berlipat. Dugaan ini terkait dengan persoalan serius dalam perekonomian secara nasional, yaitu belum terciptanya sistem distribusi barang dan struktur pasar yang tidak bagus. “Melihat tren yang ada, kenaikan harga sembako dalam Ramadhan lebih dikarenakan ulah spekulasi para pedagang,” tegas Indra.
Dalam masalah distribusi beras misalnya, pedagang besar Jatim yang menguasai sektor ini tidak lebih dari 5 orang. Mereka “membawahi” para tengkulak yang langsung terjun ke petani, serta agen/distributor sebagai penyambung ke pengecer. Karena pedagang besarnya sedikit, sudah mudah bagi mereka untuk “bekerjasama” dalam menentukan harga saat membeli dari petani, serta saat melempar ke pasar. Artinya, para tengkulak dan distributor sebenarnya sama-sama “bawahan” segelintir pedagang besar yang bermodal tebal tersebut.
(Baca: Umat Islam Akan ‘Habis’ jika Tak Bangkit di Bidang Ekonomi dan Islam Tertawa yang Bedakan Islam Indonesia dengan Timur Tengah)
Ketidakcakapan dalam pendistribusian barang semacam inilah yang membuat struktur pasar bersifat oligopoli. Semua hal yang terkait dengan pasar hanya dikuasai dan ditentukan oleh persekutuan para pedagang besar.
Implikasi logisnya, harga yang terbentuk di pasar tidak menggambarkan keseimbangan permintaan dan penawaran secara sesungguhnya, melainkan hasil kongkalingkong pedagang dalam lingkar oligopoli. “Meski harga naik, tapi yang untung hanya pedagang besar. Tidak sampai pada tingkat pengecer,” tandas Direktur Regional Economic Development Institut (REDI) itu.
Perubahan sedikit volume konsumsi di kalangan umat Islam akan mempengaruhi tingkat harga yang luar biasa di pasaran. Sehingga dalam bulan ini sebenarnya tidak ada pengurangan pasokan barang. Hanya konsumsi umat Islam yang melonjak tajam. Akibatnya, lonjakan permintaan barang menjadi banyak dan harga pun meningkat.
Pada siang hari, umat memang tidak mengonsumsi, tapi pada malam hari mereka mengonsumsi lebih banyak. Akibatnya, lonjakan permintaan barang menjadi banyak dan harga pun meningkat. Termasuk Anda? (adnan/abidin/riz)