PWMU.CO– Ibarat sebuah pohon, akidah merupakan akar yang memengaruhi seluruh bagian pohon. Mulai batang, ranting, daun, bunga hingga buahnya. Ketika akar akidah kuat maka pohon itu juga kuat tubuh besar menjulang ke langit.
Demikian disampaikan Drs HM Najih Ihsan MAg, anggota Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammmadiyah (PWM) Jawa Timur dalam acara pengaderan Darul Arqam Guru dan Karyawan SMA Muhammadiyah 2 Sidoarjo (Smamda) bertempat di Aula Nyai Walidah, Sabtu (25/5.2019).
Najih membahas tentang perilaku-perilaku yang bisa mengikis akidah. Menurutnya ada empat perilaku yang bisa merusak akidah.
Pertama adalah wasilah. Secara umum, wasilah adalah doa yang menggunakan perantara. ”Wasilah itu boleh jika menggunakan asmaul husna, melalui orang yang masih hidup dan wasilah dengan amal saleh kita.
”Misalnya, kita mau menghadapi ujian, maka kita minta doa kepada kedua orangtua. Itu boleh. Kita berdoa dengan meggunakan sifat-sifat Allah, ya Allah ya Rahman ya Rahim, dan seterusnya,” katanya.
Tapi yang menjadi masalah, imbuh Najih, jika wasilah itu melalui perantara orang yang sudah meninggal. Banyak di kalangan masyarakat kita, yang masih meyakini hal tersebut benar. Padahal ini bisa jatuh pada perbuatan syirik.
Perilaku yang kedua, tabarruk pada pohon, batu dan sejenisnya. Secara prinsip, tabarruk adalah meminta berkah. Berkah berarti kebaikan yang banyak dan terus-menerus.
”Menjadi masalah jika tabarruk pada makhluk seperti pada kubur, pohon, batu, manusia yang masih hidup atau telah mati. Di mana orang yang bertabarruk ingin mendapatkan barokah dari makhluk tersebut bukan dari Allah,” jelas Najih.
Ketiga, perilaku istiadzah atau meminta perlindungan kepada selain Allah. ”Sering kita temui di masyarakat, ketika melewati tempat angker misalnya, sebagaian dari mereka mengatakan, Mbah aku wedi, tulung lindungi aku. Mbah yang dimaksud penunggu tempat angker itu. Dari sini hati tidak bergantung dan berpaling pada Allah. Padahal, Islam mengajarkan bahwa meminta perlindungan hanya boleh ditujukan pada Allah,” ungkapnya.
Keempat adalah ghuluw, berlebihan memuja orang sampai dituhankan. Menjelaskan ini Najih mengutip surat Nuh ayat 23. ”Dan mereka (Kaum Nabi Nuh) berkata, Jangan kamu sekali-kali meninggalkan sesembahan-sesembahan kamu dan (terutama) janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, Suwa, Yaghuts, Ya’quq, maupun Nasr.”
Mengutip pendapat dari Ibnu Abbas, dia menjelaskan, nama tersebut merupakan nama orang saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka meninggal dunia, setan membisikkan kepada kaum mereka agar membuat patung-patung sekaligus diberi nama mereka yang telah meninggal. Saat itu patung-patung yang mereka buat belum dijadikan sesembahan. Baru setelah para pembuat patung itu meninggal, dan ilmu agama dilupakan, mulai patung-patung tersebut disembah.
”Muhammadiyah termasuk teguh menghindari ghuluw. Kita lihat bagaimana makam Kiai Ahmad Dahlan, sangat sederhana, hanya ada batu nisan dan tertulis nama serta gelar pahlawannya,” katanya.
Dulu di era Sukarno, sambung dia, sempat akan dibangun makam Ahmad Dahlan ini agar lebih megah. Namun Pimpinan Pusat Muhammadiyah menolak khawatir terjadi ghuluw kepada Ahmad Dahlan. (Hanafi)