PWMU.CO – Budaya mudik merupakan fenomena keagamaan khas di negeri tercinta. Mudik telah menjadi semacam ritual keagamaan, terutama bagi para perantau. Tidak pandang bulu, budaya mudik mewabah hampir pada semua lapisan masyarakat. Bahkan mudik telah menjadi budaya lintas agama dan etnik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mudik berasal dari kata ‘udik’ yang berarti asal atau kampung halaman. Dengan begitu, mudik berarti menuju udik alias kampung halaman.
Bagi para perantau, hawa kampung halaman begitu terasa sejak jelang Ramadhan. Hasrat mudik pun membuncah saat jelang Idul Fitri. Berbagai motivasi menyertai pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem ke orangtua, berziarah ke makam leluhur, bersilaturahim dengan keluarga, melepas kangen dengan teman semasa kecil, dan berbagi pada sesama. Dengan motivasi itulah pemudik rela menempuh perjalanan jauh, meluangkan waktu lama, dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Pada konteks inilah tampaknya pemudik benar-benar ingin memperoleh spirit baru berdimensi religius dan sosial.
Jika untuk mudik ke kampung halaman dibutuhkan begitu banyak bekal, pertanyaannya bagaimana jika seseorang ingin mudik ke kampung akhirat?
Pertanyaan itu layak dimajukan karena jika ditelusuri ada banyak ajaran dalam Islam yang menekankan pentingnya mudik ke kampung akhirat. Di antaranya dapat ditemukan dalam firman Allah SWT, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga Allah yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (Ali Imran ayat 133).
Ayat ini berbicara mengenai mudik rohani. Yakni, perintah untuk bersegera, bahkan berlomba-lomba meraih ampunan Tuhan untuk menggapai surga yang dijanjikan bagi orang bertakwa. Pesan kalam Ilahi ini dapat dipahami sebagai perintah mudik ke kampung akhirat.
Modal utamanya adalah menjadi orang yang bertakwa. Dalam pengertian yang umum bertakwa berarti menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Secara sederhana, takwa juga berarti kehati-hatian (al-wiqayah). Melalui madrasah Ramadhan, rasanya semua kita berlatih untuk menahan diri sehingga benar-benar berhati-hati dalam menjalani seluruh aktivitas.
Selama Ramadhan kita juga memanfaatkan seluruh waktu untuk beribadah pada Allah. Karakter inilah yang penting dibawa untuk menuju kampung akhirat. Dalam kondisi inilah, maka pada perayaan hari Idul Fitri kita benar-benar termasuk golongan orang yang kembali fitri (al-‘aidin) dan beruntung (al-faizin).
Pertanyaannya, mampukah kita terus ber-Idul Fitri, dalam pengertian menjaga nilai-nilai ketakwaan hasil dari madrasah Ramadhan? Tantangan ini penting dijawab agar jika setiap waktu Allah memanggil kita mudik ke kampung akhirat, kita bersiap dalam keadaan berserah diri. (*)
Kolom oleh Dr Biyanto, dosen UINSA dan Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim.