PWMU.CO – Proses Pemilu 2019 yang penuh dinamika sebentar lagi akan berlalu. Ramadhan 1440 Hijriah baru saja pergi. Kita berharap semoga bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan yang akan datang.
Semoga puasa Ramadhan ini berbuah takwa seperti firman Allah dalam surat Albaqarah ayat 183. Dalam suasana merayakan Idul Fitri sebagai kemenangan kita memerangi hawa nafsu, ada baiknya kita merefleksikan diri mengenai relevansi kompetensi takwa ini dalam menghadapi tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan.
Refleksi ini penting karena saya mencatat gejala negatif yang kini berkembang di masyarakat selama lima tahun terakhir ini. Saya mencatat bahwa deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara selama era reformasi justru semakin parah.
Kehidupan kita semakin diwarnai oleh kombinasi aneh antara neokapitalisme dan neokomunisme. Kesenjangan ekonomi makin parah, namun gaya hidup semakin menjauh dari prinsip-prinsip permusyawaratan dan ketuhanan. Kejujuran, amanah, kepedulian dan kecerdasan semakin sulit ditemui dalam kehidupan bersama. Saya khawatir bahwa Republik ini bakal gagal mewujudkan janji-janjinya.
Melalui sebuah proses self-denial, para puasawan menempa kesadaran diri yang makin tinggi untuk membentuk Aku yang merdeka dari belenggu syahwat perut dan kelamin. Seiring dengan itu tumbuh kejujuran, amanah, dan kepedulian atas sesama. Karena tubuh manusia memang dirancang untuk lapar, kecerdasannya juga meningkat.
Segera harus disadari bahwa tugas- demokratik kita tidak selesai di tempat pemungutan suara. Bahkan tugas-tugas itu baru dimulai begitu kita keluar dari bilik suara yaitu untuk mengawal janji-janji Republik.
Sebagai warga negara yang bertakwa, umat Islam sebagai stakeholders terbesar bangsa ini paling berkepentingan untuk mengemban tugas demokratik untuk mengawal janji-janji Republik ini: melindungi segenap tumpah darah dan tanah air Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut membangun ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan berbekal kompetensi takwa itulah tugas-tugas mengawal janji Republik ini dapat dilakukan secara inovatif sesuai dengan tantangan zaman.
Untuk mampu melaksanakan tugas-tugas mengawal janji-janji Republik itu diperlukan kolam warga negara yang memiliki kompetensi yang menjadi bagian utama modal sosial bangsa untuk tetap bertahan menghadapi berbagai tantangan.
Kompetensi penyusun modal sosial itu tercakup dalam kompetensi muttaqin yang menjadi tujuan utama puasa. Kompetensi muttaqin pada dasarnya merupakan sebuah kompetensi intrapersonal, yaitu integritas.
Apapun profesi dan pekerjaan kita, kita perlu memiliki integritas untuk dapat menunaikan tugas-tugas kita secara efektif. Perlu segera diingat bahwa kehidupan bersama dalam kemajemukan tidak saja terbentuk secara fisikal tapi juga terbentuk sebagai jalinan janji dan kesepakatan.
Integritas itu merupakan kombinasi sinergik antara jujur, amanah, peduli dan cerdas. Seluruh rangkaian kegiatan selama puasa Ramadhan dimaksudkan untuk membangun kompetensi ini.
Melalui puasa itu Kita mengalami transformasi multi-dimensional menjadi pribadi yang lebih kompeten mengemban tugas-tugas untuk mengawal janji Republik ini. Wacana islamophobic yang kadang muncul akhir-akhir ini tidak saja menghina umat Islam tapi sekaligus mengabaikan peran umat Islam yang secara sukarela menanam modal sosial selama Ramadhan setiap tahun untuk menjaga persatuan dalam kemajemukan bangsa ini.
Jika setiap Jumat umat diseru untuk bertakwa dan untuk berjuang keras hidup secara Islami (Ali Imran ayat 102), para muttaqin sekaligus diseru untuk memperkuat persatuan dan menjauhi perpecahan.
Seruan ini sering disebut amar makuf nahy munkar. Perekat persatuan dalam masyarakat yang i hanya mungkin diperankan oleh warga yang biasa berpuasa. Sejarah juga telah membuktikan bahwa Islam pernah menunjukkan diri sebagai pranata kehidupan yang menjamin kehidupan bersama yang harmonis dalam kebhinnekaan selama ratusan tahun. Oleh karena itu, tuduhan bahwa ekspresi Islam berpotensi memecah belah dan intoleran adalah fitnah besar yang tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Oleh karena itu melalui Idul Fitri ini, perayaan kemenangan melawan syahwat perut dan kelamin ini, umat Islam Indonesia menegaskan kembali perannya sebagai pengawal janji Republik di garda terdepan bangsa ini. Dengan mempertegas komitmen itu hari ini, Allah SWT akan membuka jalan bagi bangsa ini untuk menjadi bangsa yang berjaya (muflikhuun). Amin. Allahu Akbar wa lillahil hamd! (*)
Kolom oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS Surabaya