اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَىٰ عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ فَيَاعِبَادَ اللّٰهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَي اللهِ فَقَدْ فَازَ المُتَّقُوْنَ
PWMU.CO – Allahu Akbar, walillahil hamdu.
Hadirin kaum Muslim yang berbahagia!
Hari ini jutaan umat Islam mengumandangkan takbir, tahlil, dan tahmid, memuji dan mengagungkan kebesaran Allah. Sementara itu, saat ini jutaan saudara-saudara kita yang lain sedang melaksanakan ibadah haji. Kita berdoa mudah-mudahan mereka dapat melakukan semua ritual haji dengan sempurna dan pulang kembali ke tanah air menjadi haji mabrur.
Allahu Akbar, walillahil hamdu.
Idul Adha dan ibadah haji di dalamnya banyak berkaitan dengan sejarah hidup Nabi Ibrahim AS. Beliau orang luar biasa dengan perjalanan hidup yang luar biasa pula. Karena itu dia tertulis dalam sejarah. Sejarah hanya menulis peristiwa besar saja. Peristiwa kecil dan remeh-temeh akan terlewatkan.
Bahkan kisah Ibrahim dicatat Allah sendiri dalam kitab suci. Maka pasti ada banyak pelajaran penting dari peristiwa besar itu. Salah satuanya ialah semangat memanusiakan manusia.
Perintah menyembelih hewan kurban pada setiap Idul Adha secara filosofi bisa dimaknai juga sebagai pesan menyembelih nafsu hewani. Dengan demikian yang menonjol dalam diri manusia adalah sifat-sifat manusianya, bukan sifat kebinatangannya atau nafsu hewaninya.
Allahu Akbar, alillahil hamdu
Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang membedakan manusia dengan hewan.
Pertama, manusia bisa berfikir, hewan tidak. Kedua, manusia bisa tersenyum, hewan tidak. Ketiga, manusia punya rasa malu, hewan tidak.
Semakin tipis tiga unsur itu ada dalam diri manusia, semakin tipis pula sifat kemanusiaanya. Semakin tergerus salah satu unsurnya, semakin tergerus kemanusiaannya dan yang dominan adalah sifat hewaninya.
Berfikir
Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu berfikir sangat kritis. Perjalanan Nabi Ibrahim menunjukkan betapa dia sejak muda telah menjadi “pemberontak” terhadap kondisi yang tidak sejalan dengan tauhid.
Mula-mula dia memberontak kepada ayahnya sendiri, Azar. Ibrahim protes.
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا
Artinya: “Ibrahim berkata kepada bapaknya: Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah pada sesuatu yang tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat dan tidak bisa memberi sesuatu kepadamu?” (Maryam: 42)
Ibrahim juga “memberontak” kepada masyarakatnya, bahkan menghancurkan semua berhala yang menjadi sembahan mereka. Akal cerdasnya membiarkan satu berhala yang paling besar tetap utuh bahkan mengalungkan kapak penghancur itu di leher berhala besar itu.
Ibrahim juga melawan penguasa, raja Namrud yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. “Baik, Kalau tuan raja mengaku menyamai Tuhan, coba matahari yang terbit dari timur tuan ubah terbit dari barat,” kata Ibrahim tenang. Raja Namrud panik tak bisa menjawab (Albaqarah: 258).
Ibrahim seorang yang hanif, orang yang bersih dari kemusyrikan. Dia tidak pernah sedetik pun menyembah berhala. Maka teladan yang harus kita ambil ialah jangan pernah memberhalakan apapun. Jangan menuhankan apapun selain Allah.
Sekarang memang tidak ada orang menyembah berhala berupa patung. Tetapi banyak orang mempertuhankan benda-benda lain. Benda-benda itu menjadi berhala modern. Manusia yang semula menjadi hamba Allah (abdullah) berubah menjadi hamba perut (abdul butun), hamba duit (abdul fulus) hamba kursi (abdul kursi), hamba nafsu (abdun nafsu), dan hamba-hamba lain.
Jika kita ingin tetap menjadi manusia, salah satu syaratnya adalah kita berfikir logis dan teratur. Tidak gampang emosional atau mengikuti hawa nafsu.
Tersenyum
Senyum adalah karunia Allah yang luar biasa. Senyum membuat hidup ini terasa damai dan indah. Hebatnya lagi, hanya manusia yang dapat tesenyum. Tidak ada binatang yang bisa tersenyum.
Sayang, senyum yang hanya milik manusia ini sering disia-siakan. Banyak orang lebih sering bermuka muram, cemberut, marah dan sinis. Padahal semua sikap negatif itu membuat wajah kita tampak jelek, mudah sakit, dan tampak tua. Sedangkan senyum membuat wajah lebih sehat, segar, dan indah dipandang.
Tersenyumlah maka dunia akan tersenyum kepada kita. Tersenyumlah supaya kita tetap menjadi manusia. Orang yang enggan senyum adalah orang yang kehilangan sebagian kemanusiaannya.
Rasa Malu
Pernahkah Anda memperhatikan sepasang kucing betina dan jantan yang berkejaran ingin bermesraan sambil berteriak-teriak? Itulah contoh nyata tentang hewan yang tidak punya rasa malu. Jika orang ingin tetap menjaga sifat kemanusiaannya maka dia harus bisa menjaga rasa malunya.
Namun sekarang banyak di antara kita kehilangan rasa malu. Para koruptor misalnaya, masih bisa berjalan santai dan tertawa-tawa di depan kamera televisi tanpa rasa malu.
Pemuda-pemudi yang baru empat bulan menikah sudah melahirkan anak, tidak malu mengumumkan kelahiran bayinya. Tidak malu karena toh ada bapaknya. Bahkan ada publik figur yang melahirkan anak tanpa jelas bapaknya tetap tidak malu. Dengan santainya sambil ketawa-ketawa dia menyatakan pada media massa: ”Pada saat yang tepat saya akan umumkan siapa bapak dari anak saya.”
Sekarang rasa malu itu banyak tergerus oleh polusi zaman edan. Padahal malu itu bagian dari iman. Nabi mengingatkan:
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
”Dari Ibnu Mas’ud, Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya yang dikenal manusia dari ucapan para nabi terdahulu adalah: Jika kamu tidak lagi malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR Bukhari)
Orang bebas berbuat sesukanya kalau tidak lagi punya rasa malu karena kelasnya turun menjadi binatang. Fisiknya masih berwujud manusia tetapi sifat hewani lebih dominan dari pada sifat manusia.
Maka setiap kali Idul adha seharusnya nafsu binatang yang bersemayam di kalbu, kita sembelih sehingga perilaku manusia lebih menonjol. Sifat buas berubah santun. Bengis berubah ramah. Rakus berubah sosial. Tak punya malu menjadi punya malu. Kita lebih mengenal jati diri kita sebagai manusia.
Allahu Akbar, walillahil hamdu.
Berkutnya, semangat Idul Adha adalah semangat melakukan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Bukan asal-asalan. Karena itu dalam berkurban kita diperintahkan memilih hewan yang baik. Bukan hewan yang cacat matanya, cacat telinganya, pincang kakinya, dan sebagainya.
Tuhan tidak memerlukan daging hewan itu. Yang sampai kepada Tuhan memang bukan daging-daging itu, melainkan tingkat kesungguhan atau tingkat ketakwaan kita. Allah berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ
“Tidak akan sampai daging dan darah binatang itu kepada Allah, tetapi yang sampai adalah tingkat ketaqwaan dari kalian.” (Alhajj: 37)
Beragama memerlukan kesungguhan. Beragama tanpa kesungguhan hanyalah main-main. Beragama tanpa kerelaan berkurban hanya omong kosong.
Allahu Akbar, walilahil hamdu.
Yang juga menarik ialah bagaimana Ibrahim memberitahukan kepada Ismail bahwa dia akan menyembelih anaknya itu. Mari kita perhatikan firman Allah berikut ini:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ketika Ismail sampai pada (usia sanggup berusaha) bersama Ibrahim (usia remaja), Ibrahim berkata: wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah, bagaimana pendapatmu? Ismail menjawab: wahai ayah, laksanakan apa yang diperintahkan kepadamu. Insyaallah kau dapati aku termasuk golongan orang yangsabar dan tabah.” (Assaffat ayat 102).
Ibrahim sebagai seorang ayah bertanya, “Pikirkanlah, bagaimana pendapatmu.” Dia memberi kesempatan anaknya untuk mengemukakan pendapat. Ibrahim ingin mendengar unek-unek hati ‘calon korbannya’.
Sebenarnya bagi Ibarahim bisa saja mengambil keputusan sendiri tanpa minta pendapat anaknya. Ada dasar hukum cukup kuat yaitu perintah dari Allah. Dia juga punya kewenangan cukup, karena dia bapak kandungnya sendiri. Tetapi Ibrahim tidak menggunakan pedekatan hukum saja atau pendekatan kekuasaan saja.
Ibrahim justru memilih pendekatan dialogis, pendekatan kemanusiaan. Inilah contoh yang baik bagi orangtua, pendidik, dan para penegak hukum.
Masih banyak pelajaran dari peristiwa besar idul adha. Mari kita akhiri dengan doa. (*)
Nur Cholis Huda, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Naskah ini kali pertama diterbitkan Majalah MATAN, edisi 157 Agustus 2019.