PWMU.CO – Masjid At Taubah menyelenggarakan shalat Idul Adha untuk kali pertama, Ahad (11/8/19). Masjid yang berlokasi di rest area km 726 B tol Surabaya Mojokerjo (Sumo), Desa Wates Tanjung, Wringinanom Gresik ini menghadirkan Heri Siswanto SHI sebagai imam dan khatib.
“Hari ini ketika kita di sini merayakan Idul Adha dengan rangkaian shalat dua rakaat disambung dengan khutbah kemudian menyembelih kurban, dan sebagian saudara kita sedang menunaikan ibadah haji sedang mabit di Muzdalifah setelah sebelumnya wuquf di Arafah, untuk kemudian melanjutkan jumrah Aqabah,” jelas heri.
Rangkaian ibadah itu tidak lepas dari kisah keluarga Nabi Ibrahim. Pertama, bagaimana Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail yang masih menyusui, di suatu tempat yang tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Peristiwa kedua adalah ketika Allah memerintah Nabi Ibrahim melalui mimpinya untuk menyembelih anaknya. “Dari dua kisah tersebut, pelajaran apa yang bisa kita ambil? Dan mengapa kita mesti mengambil pelajaran dari kisah mereka?” tanyanya.
Allah berfirman dalam surat Almumtahanah ayat 6: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
“Dari ayat ini dapat dipahami, kalau kita ingin mendapatkan pahala, kalau kita ingin selamat di akhirat, maka contohlah Nabi Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya,” kata dia.
Ketua Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah Wringinanom itu lalu mengajak jamaah untuk mendalami dua kisah tersebut. Pertama, pelajaran ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menempatkan istrinya Hajar dan anaknya Ismail di suatu tempat yang tidak ada tanda-tanda kehidupan.
Dalam sebuah hadits sangat panjang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari telah diceritakan, Nabi Ibrahim ketika menempatkan istri dan anaknya tidak banyak kata. Sampai-sampai ketika Nabi Ibrahim hendak meninggalkan mereka pun tanpa berpesan sepatah kata.
Sehingga Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim:
يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الوَادِي، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ؟
“Wahai Ibrahim, kamu mau pergi ke mana? Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini”.
Pertanyaan ini disampaikan berulang-ulang, tapi tetap Nabi Ibrahim tidak menjawab.
Sampai akhirnya Hajar bertanya:
آللَّهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا؟
“Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semuanya ini?”
قَالَ نَعَمْ،
Ibrahim menjawab: “Ya”.
قَالَتْ: إِذَنْ لاَ يُضَيِّعُن
Ibu Ismail itu pun berkata: “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Heri lalu mengajak jamaah untuk mendalami dua kisah tersebut: Pertama, soal perintah menempatkan Hajar dan Ismail di lembah tandus. Dia menjelaskan, dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari diceritakan, Nabi Ibrahim ketika menempatkan istri dan anaknya tidak banyak kata. Sampai-sampai ketika Nabi Ibrahim hendak meninggalkan mereka pun tanpa berpesan sepatah kata. Sehingga Hajar bertanya kepada Nabi Ibrahim:
يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الوَادِي، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ؟
“Wahai Ibrahim, kamu mau pergi ke mana? Apakah kamu (tega) meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apapun ini”.
“Pelajaran penting yang bisa kita dapat dari kejadian ini adalah be positif thinking (حسن الظن بالله),” kata Heri.
Dia menelaskan, kisah ini mengajarkan kepada kita agar senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Heri menyitir hadits qudtsi, Allah berfirman: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي “Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku” (HR. Abu Dawud)
Ketika ibrahim mengatakan bahwa semua itu atas perintah Allah Hajar pun menerimanya dengan konsekuensi apapun nantinya. Dan benar Allah tidak membiarkan Hajar dan Ismail kecil kelaparan di sana. Semua itu juga tidak lepas dari doa Nabi Ibrahim yang diabadikan oleh Allah dalam surat Ibrahim ayat 37:
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur.”
Singkat cerita, ujar Her, setelah Hajar berusaha dengan keras berlarian dari bukit Shafa dan Marwa—yang kemudian menjadi rukun haji dan umrah—akhirnya Allah menurunkan rezkenya dengan perantara Malaikat Jibril untuk memancarkan air Zam-zam.
“Dan atas doa Nabi Ibrahim juga, meskipun Makkah daerah yang tandus, tapi di sana bisa kita dapati berbagai buah-buahan yang Allah datangkan dari luar Makkah. Inilah buah dari berbaik sangka dan tawakkal kepada Allah,” lanjut Heri sambil mengutip surat At Talaq: 2-3:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Kisah Kedua adalah ketika Allah memerintah Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. “Pelajaran yang bisa diambil adalah kita mesti belajar menghargai orang lain,” ungkap Heri lalu membacakan Ashshaffat ayat 102:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insyaallah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar.'”
Dari kisah itu, kata Heri, Allah hendak menyampaikan sebuah pesan bahwa beginilah sikap orangtua kepada anak dan sebaliknya sikap seorang anak kepada orang tua. “Ketika Nabi Ibrahim berkata kepada Ismail: ‘Wahai anakku, aku diperintah oleh Allah melalui mimpiku untuk menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?’, lihat sikap Nabi Ibrahim. Dia tidak semena-mena melakukan atas apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Begitu pula Ismail tidak serta-merta menolak keinginan ayahnya,” ungkap Heri.
Sikap seperti inilah, sambungnya, yang harus kita teladani di dalam keluarga kita. Bagaimana seorang ayah begitu menghargai pendapat anaknya. Padahal seandainya Ibrahim mau, bisa saja dia langsung menyeret Ismail dan menyembelihnya.
“Inilah dua pelajaran yang patut kita teladani dari Nabi Ibrahin dan keluarganya. Dengan harapan, semoga kita mendapatkan pahala karenanya dan selamat nanti di akhirat,” kata dia. (*)
Kontributor Kusmiani. Editor Mohammad Nurfatoni.