PWMU.CO – Pluralisme diakui atau tidak, menjadi tantangan semua agama dan paham keagamaan. Demikian juga dengan negara dan bangsa. Setiap pemimpin negara menyadari bahwa pluralitas agama, budaya, dan etnis, merupakan problem yang harus diatasi. Jika gagal mengelola diversitas, konflik horisontal bisa terjadi. Bahkan keutuhan negara akan terancam.
Sebagai negara multi kultur, Amerika juga menghadapi tantangan serupa. Apalagi dunia kini menyorot Amerika yang sedang menyongsong pemilihan presiden (Pilpres). Melalui berbagai media, diketahui bahwa calon presiden (Capres) dari Partai Republik, Donald Trump, tampak tidak menunjukkan respek pada pluralitas. Itu bisa diamati dari pernyataan Trump dalam banyak kesempatan, terutama mengenai eksistensi muslim dan etnis tertentu di Amerika.
(Baca: Ke Amerika, PWM akan Uraikan Konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wasy Syahadah dan Berminat Ikut Pertukaran Pelajar-Pemuda ke Amerika? Berikut adalah Programnya)
Pandangan kurang simpatik pada Islam yang ditunjukkan Trump jelas bertentangan dengan nilai-nilai pluralisme. Sebab, pluralisme mengajarkan pernghargaan terhadap diversitas (respect to diversity). Sementara Capres dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, menunjukkan respeknya terhadap pluralitas.
Soal wacana pluralisme dalam konteks jelang pemilihan presiden Amerika ini sempat menjadi salah satu topik diskusi di kelas program Summer Institute 2016. Kathlleen Moore dan Wade Clark Roof, manager program kegiatan sekaligus pemantik diskusi, juga tidak bisa membayangkan masa depan pluralisme agama di Amerika jika politisi dan elitnya, apalagi Capresnya, tidak respek pada wacana pluralisme.
(Baca juga: Nikmatnya Berpuasa Lebih Lama di Negeri Minoritas Muslim dan Ketika Malam Terasa Siang, Begitu juga Sebaliknya)
Dengan penuh kehati-hatian, dua akademisi dari University of California Santa Barbara (UCSB) tersebut berharap Tuhan memberi jalan yang terbaik. “Semoga Tuhan menunjukkan cintanya pada Amerika dan warga bangsanya. Dengan begitu Capres Amerika menunjukkan sikap lebih bijak dalam merespon isu diversitas,” kata Clark.
Kegelisahan akademisi UCSB terhadap politisi Amerika, termasuk calon presiden, dalam melihat pluralisme agama jelas merupakan pandangan yang jujur. Sebab, kebijakan yang kurang bersahabat dalam mengelola pluralitas bisa memicu konflik dan sentimen. Apalagi jika kebijakan itu bernada Islampobia. Menarik dinanti perkembangan sikap Hillary dan Trump mengenai pluralisme. Semoga Pilpres ke-58 di Amerika yang akan dihelat pada Selasa, 8 November 2016, menghasilkan sosok presiden yang pluralis. (*)
Laporan Biyanto, peserta Program Summer Institute 2016 University of California Santa Barbara