PWMU.CO – Ia terlahir sebagai Agnes Monica Muljoto di Jakarta, 1 Juli 1986, dari bapak Ricky Muljoto dan ibu Jenny Siswono.
Tanpa lihat wajah, tanpa harus meneliti silsilah, apalagi susah payah meneliti DNA, cukup dari nama saja, kita bisa mengenali anak ini keturunan siapa dan beragama apa? Kalau nama menjadi indikasi identitas awal, maka kebanyakan orang akan dengan mudah mengetahuinya.
Nama anak itu, Glodok banget (pinjam istilah Rizal Ramli untuk Ahok), atau untuk orang Surabaya, Pasar Atum banget. Maksudnya, sangat khas warga keturunan. Biasanya, untuk lebih memperkuat identitas, mereka mempunyai nama asli juga.
Anak ini lahir dengan karunia multi-bakat. Wajahnya menarik dan enak dilihat di foto maupun di layar teve. Cara bicaranya lancar dan menarik, dan ia pintar bernyanyi. Dengan modal itu ia masuk di dunia hiburan Indonesia.
Pada awal-awal muncul sebagai presenter cilik di acara teve “Trilili Tralala” ia masih memakai nama lama. Pun pula saat masih menjadi penyanyi cilik, atau ketika mulai sukses di sinetron Perkawinan Dini bersama Syahrul Gunawan.
Mungkin namanya Glodok banget dan kurang marketable, ia sering jadi sasaran bullying. Namanya suka diplesetkan dari Agnes Monica jadi Agnes Mokawin, Agnes Mocerai, Agnes Motunangan …
Maka ketika dewasa dan karir panggungnya mulai bersinar, ia perlu identitas baru. Ia mengganti namanya dengan nome de guere baru Agnez Mo.
Ia melakukan rebranding total, bukan cuma nama tapi juga tampilan fisik. Dengan modal itu ia goes international dan lumayan sukses.
Umurnya sekarang 33 tahun. Sudah bukan trilili tralala lagi; sudah bukan si Dini lagi. Untuk standar Indonesia dia sudah terlalu tua untuk melajang. Bahkan pasti sudah lama masuk kategori perawan tua.
Anak (atau, tante) ini cerdas, mondial, global, kosmopolitan, sangat khas manusia modern saat ini. Bahasa Inggrisnya perfect, sempurna, tampilannya milineal abis. Karena itu, ia pasti sadar sesadar-sadarnya ketika berbicara kepada media Amerika tentang identitas dirinya.
Ia mengaku tidak punya darah Indonesia sama sekali (whatsoever), dan ia mengaku berbeda (different) dari manusia Indonesia lainnya. Ia memosisikan diri sebagai liyan (other), karena darahnya beda dan agamanya juga beda. Ia tidak mengidentifikasi dirinya sebagai warga sebuah negara, ia adalah citizen of the world, warga negara dunia.
Inilah konsekuensi dari dunia yang mengglobal, dunia yang mengerut menjadi kecil seukuran desa, the global village, kata McLuhan (1964). Batas-batas geografis menjadi kabur dan bahkan hilang. Dunia menjadi tanpa batas, the borderless world, menurur Kenichi Ohmae.
Lalu lintas manusia, barang, dan jasa bebas menerobos batas-batas negara. Teknologi informasi kemudian menjadikan dunia terkoneksi menjadi satu dalam world wide web (www) berkat ditemukannya internet. Dari seukuran desa, planet bumi mengerut lagi menjadi hanya seukuran gadget segenggaman tangan.
Identitas nasional menjadi kabur, identitas budaya menjadi gamang, nasionalisme kehilangan arti meskipun berusaha mati-matian melakukan redefinisi. Bahkan, negara sebesar Amerika pun galau akan identitasnya. Setelah lebih dari dua ratus tahun merdeka, Amerikan mempertanyakan dirinya sendiri, “Siapakah Kita?” tanya Samuel Huntington dalam bukunya Who Are We: The Challenges of America’s National Identity (2004).
Menurut Huntington, identitas nasional Amerika terancam oleh globalisasi. Lebih khusus ia melihat ancaman gelombang masuk emigran asing ke Amerika terutama kelompok hispanic dari Meksiko. Kegalauan ini—meskipun dikritik karena dianggap sebagai nasionalisme sempit—ternyata mewakili kegalauan bangsa Amerika secara umum. Salah satu buktinya adalah kemenangan Donald Trump dalam pemilu 2016 dengan tema kampanye America First, dengan mengusir emigran dan membangun tembok raksasa di perbatasan dengan Meksiko.
Jauh sebelum itu, Fredrik Barth dalam buku Ethnic Groups and Boundaries (1969) sudah melihat peleburan batas-batas etnis yang campur-baur menghasilkan identitas budaya baru. Seorang emigran di negaranya yang baru akan mengadopsi budaya baru tapi tetap akan mempertahankan budaya aslinya.
Dunia yang sudah serba digital yang ditandai dengan lahirnya network society, masyarakat berjejaring, ini telah melahirkan tata dunia baru, tata ekonomi baru, tata identitas baru yang serba digital yang membunuh tatanan lama di berbagai bidang. Pekerjaan-pekerjaan konvensional akan hilang mati terbunuh oleh pekerjaan digital. Nasionalisme konvensional juga terancam hilang dibunuh oleh nasionalisme digital.
Bangsa yang identitasnya tidak jelas akan terancam kehilangan identitas nasionalnya. Bangsa-bangsa majemuk seperti Indonesia sangat rawan kehilangan identitas nasional. Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila harusnya menjadi identitas nasional. Tapi sayangnya sampai sekarang belum diterima secara utuh berdasar konsensus nasional sebagai identitas bangsa. Indonesia berada di persimpangan jalan.
Seorang profesor politik kawakan sekelas Huntington saja bingung akan identitas diri dan bangsanya, apalagi Agnes Monica Muljoto. Maka tak perlu heran apalagi masygul terhadap Agnes. Biarkan saja, Agnes Monica, Mokawin, Mocerai, Moapa…? (*)
Kolom oleh Dhimam Abror Djuraid, wartawan senior.